Lihatlah gambar di atas. Posisi berdiri kaki kiri saya menunjukkan bahwa got ini dangkal. Kedalamannya sekitar 20 cm. Jika hujan deras dan lama, permukaan air akan rata, sama tinggi, dengan jalan. Apalagi jika jalannya tergenang setinggi mata kaki.
Lalu lihatlah gambar di bawah ini. Got saya foto dari arah selatan, berlawanan arah dari foto pertama. Sungguh kentara, got bersih itu dangkal. Kelebihan got dangkal berlapis semen ini sejak dulu adalah kebersihannya. Kotoran cepat hanyut, dan got mudah disapu.
Lalu lihatlah foto jalan dari arah utara di bawah ini. Di kiri, yang menampakkan pipa PVC, adalah sisi got. Dasar got di bawahnya hanya dua tiga jari dari ketinggian pipa.
Sedangkan di sisi kanan jalan ada got, lebih dalam, dasarnya tak kelihatan. Memang, got itu lebih kotor. Airnya tak lancar mengalir ke got yang lebih besar.
Kemudian lihatlah foto di bawah ini, saya jepret dari arah utara. Got dangkal itu bermula dari batas tanah kedua rumah yang beradu punggung. Di bawah tangga samping tersebut, gotnya lebih dangkal dari got sebelumnya, yang tampak di bagian bawah foto.
Got yang tertimbun tanah dan puing itu lebih dalam. Sudah sepuluh tahun rumah pemilik got itu kosong lalu mangkrak. Bulan ini rumah itu laku dijual. Pembelinya kini sedang merenovasi. Semoga kelak got akan dia normalkan sehingga menjadi sedalam got di kanan jalan, seperti sediakala.
Got adalah bagian dari sistem drainase. Di republik ini soal drainase secara umum payah. Anehnya Belanda si penjajah bisa bikin drainase yang genah. Sayangnya kita enggan meniru dan meneruskan, mana pertumbuhan kota makin rumit pula, bahkan liar. Dalam bahasa sopan: kota dibiarkan tumbuh organik secara bebas.
Dari tahun ke tahun ada berita bahwa bagian kota di banyak tempat yang sebelumnya tak pernah kebanjiran pun akhirnya mengalami. Drainase buruk, ditambah deforestasi di wilayah hulu, adalah cara paling efektif untuk mengundang banjir. Lalu ada istilah langganan banjir, tetapi anehnya tak dirindukan oleh warga. Kalau warga mengeluh, pemda membela diri dengan menyalahkan warga. Mbulet. Indonesia banget.
Pada masa Ahok jadi gubernur DKI, beberapa pemilik kafe di Jalan Panglima Polim dalam, bukan raya, Jaksel, malah menutup got dengan semen. Maka pemprov pun membongkar beton penyumbat got tersebut. Kurang terpelajar apa para pemilik bangunan di sana?
Siapa pun presidennya, masalah Indonesia itu rumit karena merupakan akumulasi dari masa kepresidenan sebelumnya. Tentu presiden tak mengurusi got, karena yang menjadi masalah adalah para wali kota dan bupati, di bawah gubernur, dalam menangani wilayah.
Bulan depan ada pilkada. Berapa kandidat yang punya misi mengatasi drainase dan defisit air tanah serta ketersediaan air bersih? Mereka lebih suka membualkan janji akan mengatasi banjir, seolah-olah banjir itu soal sepele, namun mengabaikan banyak faktor.
Apa pun definisi banjir, genangan setinggi tulang kering orang dewasa, bahkan cuma semata kaki, selama sejam itu mengganggu aktivitas warga.
Tetapi boleh jadi para kandidat itu tahu diri: jangan menjanjikan hal yang sulit dilakukan, apalagi kalau menjabat cuma lima tahun. Karena dalam masalah ada juga faktor bawaan dan tinggalan dari kepala daerah sebelumnya. Antara lain soal regulasi bangunan dan pengawasannya, yang berakar pada penegakan hukum.