“Dia nggak married soalnya antikomitmen, maunya pacaran mulu. Ceweknya gonta-ganti, dari artis sampe anak NGO,” kata seorang perempuan, teman saya, tentang temannya, seorang pria aktivis tenar yang tetap melajang hingga lansia.
Teman saya dan suaminya juga aktivis, teman dari si tokoh itu, sesama pendiri sebuah lembaga kajian sosial. Suami teman saya pernah dipenjara oleh Orde Baru.
Teman lain, pria, dalam reriungan itu berkomentar, “Dia emang pinter. Tau cara menghindari masalah. Lebih enak single terus.”
Baiklah, menikah dan tak menikah itu soal pilihan. Pacaran adalah satu hal, dan menikah adalah hal lain. Ikatan asmara tak harus berujung pada perkawinan, bahkan ujung perkawinan pun kadang tak jelas. Apa yang diikhtiarkan manusia belum tentu akan terwujud.
Laporan Kompas dalam 18 artikel berbasis data dan liputan ini menarik. Intinya: kecenderungan melajang orang Indonesia meningkat.
Saya belum beroleh data adakah perbedaan kaum lajang di kota besar dan kota kecil. Namun saya berpengandaian, lajang di kota besar, terutama bagi perempuan, apalagi di Jabodetabek, lebih nyaman.
Sudah biasa di kedai kopi kota besar ada perempuan ngopi sendirian. Pun sudah biasa di bioskop dan konser ada perempuan penonton yang cuma berdua atau lebih dengan teman perempuan.
Dalam pameran seni rupa, siang hari, sudah jamak perempuan kota besar hadir sendirian. Begitu juga dalam acara diskusi. Di kota kecil, kesan saya, perempuan dewasa lajang tak seleluasa perempuan lajang di kota besar.
Bahkan meskipun kotanya aman sebelum tengah malam, perempuan lajang di kota kecil yang tak punya mobil kurang leluasa bergerak, kecuali ada taksi yang genah. Kalau tinggalnya di permukiman padat, sering pergi sendiri dianggap aneh, tetapi kalau pulangnya sering diantar pria yang berbeda — padahal bukan sopir taksi — akan digunjingkan, padahal tak merugikan tetangga.
Persoalan klasik orang lajang dalam masyarakat kita adalah orang lain yang seperti kerepotan. Pihak sok repot paling dekat adalah keluarga inti dan keluarga besar. Sudah punya pekerjaan mapan kok belum belum menikah. Ini bukan soal mapan turu, melainkan beban ekonomi orang setelah menikah. Tetapi di Barat, pasangan bisa hidup bersama justru agar bisa berbagi biaya untuk papan dan pangan.
Tak hanya saat hari raya, karena dalam resepsi pernikahan pun seorang lajang, pria maupun perempuan, bisa ditanya, “Kalo kamu kapan?” Jawaban pede paling santun adalah, “Kapan-kapan…”
Hmmm… rupanya setiap orang dewasa harus punya suami atau istri, bahkan hingga hari ini pendapat ini masih kuat. Lalu setelah kawin, setiap pasangan harus punya anak, bahkan banyak pun tak soal. Namun pendapat banyak anak banyak masalah bisa ditentang oleh kaum tertentu. BKKBN pernah mengalami di Jatim.
Saya belum mengintip data, misalnya ada, perbedaan jumlah anak dalam 20 tahun terakhir, berdasarkan tingkat sosial ekonomi keluarga. Di sisi lain saya juga tak tahu apakah para seleb sejahtera yang beranak lebih dari tiga juga menulari masyarakat.
Untuk orang makmur, banyak anak bukan masalah, terutama dalam biaya pendidikan formal dan pengembangan anak, serta privilese akses dalam berbisnis.
Dalam laporan tersebut juga ada tinjauan demografis dan implikasinya: angka kelahiran total diprediksi turun hingga 1,95 pada 2045. Saat itu seorang ibu rata-rata melahirkan satu hingga dua anak. Maka proporsi warga lansia membesar, sedangkan warga usia muda berkurang.
Para lansia itu menjadi beban anggaran kesehatan pemerintah. Saat ini total biaya rawat jalan lansia Rp6,9 triliun dan rawat inap Rp8,6 triliun.
Kompas memproyeksikan pada 2045 nanti total biaya rawat jalan untuk lansia menjadi Rp27,7 triliun, naik 404,1 persen. Adapun total biaya rawat inap naik hingga 502,2 persen, menjadi Rp42,9 triliun.
Apa isi laporan Kompas sila Anda baca sendiri. Tulisan saya ini adalah komentar panjang terhadap laporan tersebut.
¬ Infografik dan foto: Kompas.id
4 Comments
https://blogombal.com/2024/03/06/eh-apa-nikah-emang-penting/
Begitulah. Kali ini laporan Kompas soal kelajangan dan child free lebih komplet. Ada implikasi ke beban biaya kesehatan lansia kelak.
Negeri maju masih mendingan, BPJS sana gede, gitu juga tunjangan hari tua krn potongan gaji juga besar, bisa begitu karena upah tinggi.
Masalah mereka kini, untuk pekerjaan kasar harus diisi pekerja migran, termasuk dari Indonesia
Alih-alih merasa sedih karena teman saya sudah berpasangan terlebih dahulu, justru saya malah senang karena mereka sudah melepas masa lajangnya.
Selain itu, saya juga senang karena pundi-pundi yang dimiliki bisa untuk dinikmati secara pribadi.
Setiap orang punya pilihan, kan? 😇💐