Gatot gatot, tiwul tiwul, getuk getuk getuk, cenil cenil… Suara itu berkumandang dari sepeda motor yang kadang lewat depan rumah saya. Maka saya pun mencoba.
Ketika tutup kotak diangkat tampaklah aneka jajanan kampung dan desa seperti di Jateng, DIY, dan Jatim. Ada gerontol pula.
Semua makanan itu biasanya ada di pasar tradisional Jakarta dan sekitarnya. Dulu, abad lalu, saya beberapa kali mendapatkan getuk tiwul dari sejawat yang dioleh-olehi ibu mertuanya dari Pasar Kebayoran Lama.
Waktu saya kecil di Jalan Osa Maliki, Salatiga, Jateng, kalau libur sekolah setiap pagi saya duduk di tangga pintu rumah, menunggu penjual getuk dan tiwul lewat. Dalam bakul yang digendongnya hanya ada getuk bersalut gula jawa dan tiwul.
Saya lupa bakul si Mbok Getuk itu ditutupi plastik atau atau kain. Namun ada hal mengesankan jika menyangkut higiene. Tetangga saya seorang dokter, bersauamikan seorang fisikawan alumnus Universitas Negeri Michigan, Amrik. Kini Pak Fisikawan sebagai profesor masih menulis, dan tetap menjadi bahasawan.
Hubungan pasangan itu dengan getuk tiwul? Seorang tetangga heran ketika mendapati Bu Dokter membelikan getuk tiwul dan jajanan lain ramah debu, yang dijajakan sambil berjalan, untuk putrinya yang masih balita. Bu Dokter alumna Universitas Andalas itu menjelaskan, hal itu justru bagus untuk membangun kekebalan anak.
Oh ya lebih dari sekali saya menceritakan perbedaan jurnalis senior terutama veteran dari Barat dan para jurnalis fresh grads juga dari Barat yang meliput aneka peristiwa saat Reformasi 1998. Jurnalis muda selalu ragu untuk mengudap dari gerobak di tengah keramaian.
Tetapi jurnalis veteran tidak, santai saja makan apa yang mereka temui, termasuk buah potong dari gerobak yang menurut kolumnis The Jakarta Post ada penjualnya yang setelah pipis tak mencuci tangan. Saya menduga perut mereka terlatih karena terbiasa meliput di Afrika, Amerika Latin, Palestina, dan Asia Tenggara plus Asia Selatan.
Kalau makanan di hotel pasti higienis. Dulu jurnalis asing biasanya menginap di Mandarin Hotel, lokasinya strategis, depan Bundaran HI. Kita tahu hingga kini itu hotel mahal. Mereka naik Silver Bird yang kadang mereka sewa jam-jaman atau… naik ojek, sebelum ada ojek daring. Pewarta foto James Nachtwey termasuk penggemar ojek.
Terus soal jajanan saya dalam foto itu bagaimana? Tentang gerontol ada tiga catatan.
Pertama: waktu saya di TK pernah ikut antre gerontol bersama para napi karena bapak teman saya kepala lapas. Pulang sekolah lebih dini saya main ke rumahnya dalam area penjara, dan tergerak ikut mengantre bersama barisan pria berbaju dril biru lusuh.
Kedua: gerontol termahal di Jakarta, tetapi saya lupa harganya, adalah di kedai kopi kesukaan saya dulu, Palalada, di Alun Alun Indonesia, yang bertetangga dengan toko buku dan CD Red & White Publishing.
Ketiga: tentang gerontol dan lainnya, ada lima enam macam, semuanya Rp7.000, namun kata istri saya, “Mas nggak tahu harga. Biasanya sepincuk gitu Rp5.000.”
Baiklah, dalam kondisi sekarang saya masih bisa bermewah-mewah, membayar lebih mahal.
6 Comments
Tentang harga “kemahalan”, saya mengalami juga. Saat suatu pagi membelikan sebungkus nasi liwet Rp 5.000, saya sekalian membelikan sebungkus ketan-bubuk (tanpa juruh) Rp 5.000. Sampai di rumah, kata istri saya, kelarangen karena mestinya kalau beli ketan Rp 3.000 saja.
Saya meringisππ, tapi tetap menuruti perkataan istri. Kali lain, saat membeli ketan lagi, saya ngarani (meski dengan ragu-ragu) Rp 3.000, ternyata penjual membungkuskan seharga Rp 3.000 tanpa berkomentar apapun. Berarti memang sebungkus ketan berharga Rp 3.000 itu wajar.
Pria, dalam hal ini para suami, memang bukan pembelanja cerdas. Perempuan lebih pintar berbelanja, bisa melakukan persuasi.
Bahkan terhadap jasa pun begitu. Tukang sepatu tahu bahwa perempuan dengan rumah bagus dan sepatu bagus selalu menawar ongkos reparasi alas kaki. Pria kalau kena smash “Kalo Njenengan bisa kerjain sendiri ya monggo” langsung menyerah, tak mau debat. πππππ
saking wangunnya foto di atas, yg di sebelah parutan krambil itu sempat saya kira cemilan juga karena tampak lezat. jebulnya karet gelang :D
Saya waktu milih foto sempat heran itu makanan apa ya kok nggak saya coba. Akhirnya saya sadar.
Penjualnya orang Wonogiri.
berarti pedes banget karena karetnya lebih dari dua :D
Betooollll πππππ
Dapat bonus karet banyak tanpa menang ganjilan di emper rumah