Warung pertama bilang tak ada gandum. Warung kedua bilang gandumnya habis. Lantas warung ketiga pun saya datangi, lokasinya di sebelah Alfamart. Misalnya warung itu tak punya, saya akan ke minimarket tetangganya.
Karena membawa uang tunai, saya sengaja akan membeli di warung, lalu kalau tak ada, baru ke minimarket. Iseng saja, siapa tahu bisa ngobrol sekilas dengan pemilik warung.
Di warung ketiga, Pak Warung balik bertanya, “Roti gandum? Nggak jual.” Lalu, “Apa? Gandum? Nggak pernah jual.”
Akhirnya sayang ingat, “Maksud saya tepung terigu, Pak.” Maka urusan pun beres. Harga sekilogram Rp12.500. Seperti anak kecil, uang kembalian saya masukkan ke tas keresek karena saya tak membawa dompet.
Sebenarnya apa masalah saya? Seiring pertambahan usia, saya mulai lupa dan hal itu berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa maupun berkomunikasi. Di rumah, istri menugasi saya membeli gandum. Seperti anak kecil, kata “gandum” terus melekat dalam perjalanan dari warung ke warung.
Saya tak ingat sama sekali kata “terigu”, dan baru menyadari di warung ketiga tadi. Banyak ibu di Jateng dulu seingat saya lebih sering menyebut gandum daripada terigu. Ternyata istri saya juga. Lalu saya terbawa. Di warung bikin penjual bingung.