“Lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.”
Namun di tangan hakim busuk nirnurani, adagium ini menjadi pembenar untuk memutus bebas Ronald Tannur demi uang. Semoga kelak terbukti. Latar cerita bertebaran di media. Saya tak akan meringkasnya.
Mereka berani mengawali surat vonis dengan “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Terlalu.
Terhadap diri sendiri saja tidak malu, apalagi terhadap keluarga, korps, dan masyarakat. Jangan-jangan keluarga para hakim korup memang mendukung, bahkan bangga atau malah menjadi cita-cita.
Korupsi, terutama berupa penerimaan suap, oleh penegak hukum ini mengesalkan. Mereka membuat masyarakat tak percaya hukum dan korps penegak hukum, serta lembaga peradilan. Mereka ada di kepolisian, kejaksaan, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, dan profesi advokat.
Kasus terakhir, Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh yang divonis ringan, adalah contoh yang membuat saya skeptis terhadap penegakan hukum yang menyasar pelanggar hukum dari kalangan ahli hukum di lingkungan penegak hukum.
Hukuman untuk orang-orang yang jiwanya berbelatung itu mestinya maksimum. Ya, seperti terhadap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang hingga kini belum memotong jarinya sendiri.
Korps penegak hukum tak pernah mencela secara resmi dan terbuka terhadap anggotanya yang korupsi. Jika menyangkut hakim mestinya pernyataan itu oleh para hakim karena korps mereka telah dicemarkan. Mereka dirugikan. Pembiaran berarti toleransi bahkan dukungan.
Ketiga hakim di PN Surabaya berani begitu karena, saya berprasangka, mereka melihat pelaku lain aman, ditenggang, tak pernah dikucilkan bahkan setelah keluar dari bui.
Maka saya menganggap peristiwa semacam kasus hakim pengadil Tannur akan terulang. Bahkan kasus ini akan segera dilupakan.
Hakim adalah wakil Tuhan. Namun tak berarti kontrol terhadap mereka kita pasrahkan sepenuhnya kepada Tuhan.