Sore itu saya dengar suara seseorang berbicara sendirian dengan keras dari depan rumah saya. Pasti itu suara orang berbicara melalui ponsel. Saya keluar, dan terlihatlah seorang cowok, masih remaja, berbicara dengan mengaktifkan sepiker ponsel yang dia letakkan di atas sangkar burung, sementara tangannya memegangi seekor merpati. Sangkar itu terikat pada jok sepeda motor.
Oh, dia sedang berkoordinasi dengan mitra bermainnya di kampung atas, Bulaktinggi, Jatiwarna, Kobek.
Zaman dahulu sebelum ada ponsel, berkoordinasi melepaskan merpati bukan di lahan persawahan maupun lapangan tentu tak semudah sekarang. Namun itu hanya pengandaian saya, karena sejak kecil saya tak memiara merpati.
Tentu saya juga tak tahu banyak tentang balap merpati. Merpati, atau burung dara, dalam benak saya adalah lambang perdamaian.
Perdamaian? Saya pernah mendengar ada dua ibu rumah tetangga cekcok gara-gara anak rumah sebelah memiara merpati. Tahi burung dan bulu burung tetangga mengotori tempat jemuran, menjadi masalah bagi yang tak memiara merpati.
Meskipun demikian saya punya ingatan mengesankan tentang merpati piaraan. Saat masih di TK hingga kelas dua SD di Salatiga, Jateng, saya selalu berjalan kaki memintas kampung demi kampung. Di kampung Leyongan ada rumah dengan pelataran seukuran lapangan badminton, yang salah satu sisi tepinya berisi likuran kotak merpati.
Setiap kotak dalam tumpukan itu berpintu tanpa daun. Di atas pintu ada tulisan nama setiap merpati. Maka saat itu saya menyimpulkan merpati dapat diajari membaca agar tak salah kamar. Dalam perjalanan waktu saat kelas satu itu, saya juga menjadikan nama merpati untuk belajar membaca, sambil berjalan kaki.
Merpati juga mengingatkan saya pada logo Pos Indonesia. Begitu banyak cerita tentang merpati sebagai kurir surat sebelum ada jasa pos berkereta kuda¹ maupun kereta api.
Cerita-cerita dalam fiksi itu mengesankan saya. Kini, seekor merpati terlatih dapat terbang Bali – Jakarta dalam 22 jam. Tentu dengan catatan tak diserang alap-alap predator maupun oleh manusia.
Merpati menjadi bagian dari sejarah kantor berita Reuters — baca: roiters. Paul Julius Reuter (1816—1899), bankir yang kemudian memproduksi berita ekbis di Aachen, Jerman, memanfaatkan 45 merpati pos untuk membawa laporan harga saham dari Brussels, Belgia. Kalau kini orang berjalan kaki, jaraknya 132 km, ditempuh dalam 30 jam. Pada 1850 sudah ada telegraf namun Reuter belum mamanfaatkannya.
Beberapa tahun kemudian dia pindah ke London, membangun kantor berita ekbis dengan pelanggan kalangan usaha termasuk perbankan. Setelah ada telegram, dia tak hanya meninggalkan merpati namun juga medirikan Reuter’s Telegram Company Limited.
Nah, kembali ke anak pemiara merpati tadi. Bagaimana dia melepaskan burungnya saya tak dapat menjepret adegan yang tepat. Jeda rana (shutter lag) kamera ponsel saya tak dapat membekukan aksi itu. Maka hasilnya hanya foto di atas paragraf ini.
Merpati juga mengingatkan saya pada sebutan jinak-jinak merpati. KBBI memerikannya “kelihatannya ramah dan mudah didapat, tetapi sebenarnya tidak (tentang wanita)”. Oh.
Merpati juga mengingatkan saya pada sebuah BUMN maskapai penerbangan: Merpati Airlines. Setahun setelah dinyatakan pailit, pada 2023 Merpati dibubarkan. Sebagai burung kecil, dia kalah besar pun kalah perkasa daripada burung besar, yakni Garuda.
Perihal jinak-jinak merpati, teman saya pernah kasmaran dengan seorang pramugari Merpati yang dia kenal dalam penerbangan. Merpati jantan kuciwa, karena ternyata tiada pantulan getar asmara dari si burung dara.
¹) Herman Willem Daendels, Gubernur jenderal Hindia Belanda selama 1808—1811, yang memerintah tanah jajanan ini atas nama Louis Napoleon dari Prancis yang menjajah Kerajaan Belanda, membuat jalan raya 1.000 km dari Anyer (Banten) ke Panarukan (Jatim). Proyek yang mengerahkan tenaga kerja paksa tersebut dinamai De Grote Postweg (Jalan Raya Pos) karena juga berfungsi sebagai jalur kereta pos secara estafet dengan sejumlah perhentian.