Papan aturan pada dini kedai ini menarik. Poin keenam mengimbau pengunjung untuk “menjaga ketenangan dan tidak gaduh”.
Eh, mengimbau, meminta, atau mengharuskan? Judulnya adalah Tata Tertib. Dari delapan poin, yang memuat kata “tidak” dalam awal kalimat hanya ada empat. Biasanya tata tertib memuat larangan, maka kata “tidak” dan “dilarang” pun dikedepankan. Adapun untuk tindakan yang diharapkan biasanya dengan “dimohon”.
Saya setuju dengan aturan tidak gaduh itu. Saya tak suka kedai yang riuh, apalagi dengan musik hidup yang kencang. Kalau ada, lebih baik akustik dengan pengeras suara dan untuk perkusi pun pelan. Pokoknya orang masih bisa saling mendengar saat berbicara. Masa sih saat ngopi kita harus berteriak?
Tetapi dengan pemutar musik pun bisa gaduh karena genre musik dan volumenya. Kalau setiap pengudap harus berbicara keras alangkah gaduhnya kedai. Ambient music itu paling pas, begitu pula chill-out music dengan volume tahu diri. Pesinden menembang bertimpuh dengan iringan siter juga pas.
Ada juga sih rumah makan bersih dan hidangannya lezat, tanpa musik, tetapi saya kurang nyaman karena akustik ruang: penuh pantulan suara. Saya belum masuk ruang saja sudah terdengar gema sendok, garpu, piring, dan mangkuk beradu, demikian pula gaung percakapan dari setiap meja.
Padahal jaringan rumah makan tersebut memanfaatkan desainer interior, namun ada cabang penuh kaca, dengan ubin keras, dan tanpa peredam suara. Saat banyak pengudap, tak nyaman makan di sana, apalagi jika setiap meja tak mau bicara perlahan. Masa dengan teman semeja kita sulit saling mendengar.