Kamis (18/10/2024) kemarin adalah Aksi Kamisan ke-386, dan merupakan aksi terakhir dalam masa Jokowi Mulyono menjadi presiden.
Dalam surat terakhir (¬ lihat PDF) Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), yang ditandatangani presidium yang terdiri atas Suciwati, Sumarsih, dan Bejo Untung, antara lain tertulis:
“Sebagai kata penutup kami sampaikan bahwa surat ini adalah Surat Aksi Kamisan yang terakhir kami kirimkan kepada Presiden RI. Adapun Aksi Kamisan akan tetap berlanjut dan konsisten berdiri dan berjuang untuk melawan impunitas, merawat ingatan, dan menuntut akuntabilitas atas
kasus-kasus kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM.”
Artinya aksi masih akan berlanjut. Surat tersebut menyatakan:
“[…] setelah selesainya dua periode masa kekuasaan. Selama 10 tahun terakhir, Aksi Kamisan terus merasakan adanya kebohongan atas janji yang telah Bapak nyatakan mengenai penegakan hukum dan HAM, termasuk janji-janji untuk merealisasikan keadilan bagi korban pelanggaran berat HAM.”
Semua janji Jokowi untuk penuntasan pelanggan HAM berat dan menghapus impunitas disebut, “Hanya dijadikan bahan kampanye semasa mengejar kekuasaan dan jabatan.”
Aksi Kamisan tak dapat terpisahkan dari Maria Catarina Sumarsih (72). Zen RS dalam Narasi menamsilkan Bu Sumarsih sebagai keris yang mengalami berulang-ulang, proses tempa-lipat dan tempa-lipat sampai 386 kali, sehingga berpamor.
Menurut Zen:
“Ketika Bu Sumarsih mengatakan bahwa cintanya kepada Wawan, putranya yang tewas dibunuh dalam Tragedi Semanggi I, bertransformasi menjadi ʼmencintai sesama manusia dan para korban pelanggaran HAM dari berbagai kasusʼ, kita menyaksikan lompatan kualitatif yang membuat 1 Wawan + 1 Sumarsih ≠ 2, melainkan = banyak dan menggerakkan. Bertiwikrama.”
Zen juga menyodorkan cermin jernih yang membuat saya malu, merasa tersindir, karena yang telah saya lakukan lebih payah daripada yang dia katakan:
“Alih-alih mengorganisir diri menjadi lebih canggih, lebih kuat dan lebih luas dalam taktik dan strategi dan front, kita masih ‘sekadar’ berkerumun di sekitar Bu Sumarsih. Kita menggunakannya untuk mereguk kenyamanan rapuh bahwa kita telah berbuat tapi pada dasarnya belum apa-apa, atau tidak melakukan apa-apa dari sisi dampak, karena hanya berkerumun di sekitar Bu Sumarsih itu saja yang kita bisa — sembari hanya bisa mengumpat para korban yang merapat kepada yang sebelumnya dianggap pendosa.”
Lantas bagaimana Prabowo Subianto, sebagai penerus Jokowi, akan menangani masalah yang dikemukakan Aksi Kamisan?
Sejauh ini saya masih skeptis. Tuntutan akan keadilan menyangkut Bowo juga. Maka hal maksimal yang akan dia lakukan adalah upaya kehumasan, berupa upaya komunikasi untuk meredam isu. Artinya hanya public relations, bukan penyelesaian politik dan hukum.
Bowo sejak dulu punya tim komunikasi publik nan andal, dan posisi Bowo dalam isu HAM serta impunitas di mata pendukungnya memiliki keunggulan: bekas lawan maupun korban penculikan ada di pihaknya. Demikian pula jenderal yang dulu menyidangnya dan menjatuhkan sanksi.
Posisi itu menguatkan pesan afirmatif yang positif bagi Bowo dan pendukungnya: lha wong yang diculik dan diuber-uber saja memaafkan, bahkan bergabung, kok sampean rewel.
Bowo juga punya pengelak jitu, yang pernah dia angkat dalam debat capres. Kira-kira retorika itu, dalam konstruksi saya, berbunyi: “Soal penculikan itu bolanya bukan di saya, melainkan pada setiap masa kepresidenan pasca-reformasi.”
Tangkisan itu mengabaikan masalah bahwa penculikan disertai penyiksaan atas nama negara, dan juga impunitas, bukanlah urusan antarperorangan dalam perkara perdata seperti utang piutang, karena merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ini surat ke-836 Aksi Kamisan terakhir di era pemerintahan Jokowi.
| Narasi Daily#JadiPaham #NarasiNewsroom #NarasiDaily pic.twitter.com/mktXtrPyFZ
— Narasi Newsroom (@NarasiNewsroom) October 19, 2024
Sejujurnya, meski punya keunggulan posisi tadi, ditambah komunikasi andal, saya tetap mencemaskan ada upaya kubu Bowo untuk mengontrol informasi historis yang merugikan dirinya. Misalnya penghilangan artefak berupa konten autentik media kertas seputar penculikan.
Tentu saya tak menganggap semua yang ditulis media cetak saat itu benar. Info yang salah harus dikoreksi, setidaknya oleh pihak yang merasa dirugikan.
Setelah pemerintahan baru berlaku, kita akan melihat kecenderungannya. Bagaimana jika kekhawatiran saya salah? Bagus dong.
Penuntutan keadilan kasus pelanggaran HAM masa lalu bukanlah isu 5 tahunan sekali.
Lewat aksi Kamisan, para korban dan keluarga korban menuntut keadilannya di depan Istana Negara, Jakarta setiap Kamis sore.800 aksi telah digelar. Januari ini juga menandai 17 tahun aksi ini… pic.twitter.com/fjXPfZOSDa
— Narasi Newsroom (@NarasiNewsroom) January 7, 2024