Tidak mudah menggali informasi dari lingkungan macam ini, di sebagian RT dalam RW 12 Tanahtinggi, Johar Baru, Jakpus.
Perkampungan padat, jarak antar rumah terasa sempit bagi orang berpapasan, cahaya matahari tak menerobos masuk, sirkulasi udara kurang memadai, dan saya tak berani mencari data kasus Covid-19 di sana saat pandemi lalu.
Tidak, tidak. Bukan saya yang masuk ke sana, melainkan awak kanal YouTube Verspektif dari Volix Media.
Pastilah butuh pendekatan untuk mengisahkan kampung itu. Bantuan tokoh lokal sangat diperlukan.
Silakan simak video termaksud.
Kehidupan yang sesak
Beberapa poin temuan:
- Ukuran rumah di sana banyak yang kecil, ada yang 2 × 3 meter persegi
- Rumah-rumah kecil itu dihuni banyak orang, sehingga untuk tidur pun bergantian
- Penanganan sampah tidak bagus, opsi bagi sebagian warga adalah membuang sampah ke sebuah rumah kosong mangkrak atau ke pasar
- Banyak pekerja informal dan serabutan, kadang ketua RW harus membantu membebaskan warga yang terciduk satpol PP saat mengamen
- Bansos dan sejenisnya adalah hal rumit, karena yang semestinya dapat malah tak kebagian
- Ada juga warga yang menjual bantuan beras karena tak punya dapur
Ganja dan aborsi
Pada 1990, ya betul abad lalu, saya pernah ingin mengenal kampung Tanahtinggi yang terkenal sebagai tempat membeli ganja dan ada klinik aborsi ilegal.
Saya berani masuk karena ada teman baik, yang mengontrak rumah di sana. Tetapi setelah mencoba masuk saya tahu diri takkan sanggup, antara lain dari ketersediaan waktu.
Observasi butuh waktu lama, kalau bisa tinggal di sana, dikenal warga, dan diterima, bisa memotret dengan suasana sama-sama nyaman, bagi warga maupun saya. Padahal ada liputan harian lain tanpa ngepos, dari bersua penjual pasar, bos debt collector dan jasa keamanan tempat hiburan di Kota, sampai sosialita Jakarta, yang harus saya lakukan.
Ketika pertama kali masuk ke sana, malam, saya lupa RW RT berapa, saya menyusuri gang temaram di samping rumah bidan aborsi, dengan bau air got yang superastaga anyir busuk.
Lalu saya berbelok sekian kali dalam labirin remang-remang, dan kaget ketika di atas bangku bambu pinggir gang ada seorang remaja cewek tanggung sedang dicumbu tiga cowok.
“Makanya anak-anak saya kirim ke pesantren, Mas,” kata teman saya tentang putri-putrinya.
Saya tak sanggup. Yang namanya kemewahan dalam peliputan tak hanya di tempat resik gemerlap wangi.
Saya ingat, sekeluar dari kampung itu, di jalan raya, kalau mencegat taksi tak ada sopir yang mau. Saya harus berjalan kaki sekitar 200 meter, itu pun Blue Bird dan Kosti tak mau saya setop.
Kini era jurnalisme warga
Akhirnya dalam sebulan saya beroleh sejumlah foto hitam putih lingkungan sana, termasuk kehidupan gubuk di pinggir rel. Tak semua foto memuaskan redaktur foto. Yang memotreti adalah teman saya. Kredit foto tentu dengan namanya.
Kepadanya saya menitipkan kamera SLR berlensa 35—70 mm dan tentu film; sayang tak ada lensa lebar. Soal pemrosesan bukan masalah, karena teman saya adalah petugas kamar gelap.
Lalu apa inti lain yang akan saya sampaikan selain kehidupan di kampung padat dulu dan sekarang, seperti tadi?
Kini dengan kecenderungan banyak media daring bermain berita sela (breaking news) maka kurang kesempatan bagi awaknya untuk liputan mendalam dan studi pustaka termasuk riset data sekunder.
Pelantar video UGC macam YouTube memberi peluang kepada apa yang disebut citizen journalism — apa pun kriteria Dewan Pers tentang penerbit dan produk jurnalistik.
Homeless media menjadi alternatif. Konsumen berita menyukainya, tak peduli proses produksinya dan kejelasan lembaga. Bahkan media terlembagakan pun kadang mengambil bahan dari konten vlogger maupun media tak berumah itu.
Anda pasti tahu, semua wawancara atau obrolan eksklusif seputar politik hari ini ada di YouTube, bukan di situs berita apalagi koran dan majalah.
2 Comments
Tentang Tanahtinggi, saya jadi ingat kasus bom meledak di sana, terkait Agus Jabo Priyono,yang kala itu musuh Soeharto (dan kini akan jadi wamen/pejabat tinggi lain di kabinet Bowo).
Saya pernah singgung tentang hal tersebut tatkala menulis tentang Wiji Thukul, tahun2008 silam.
https://nasional.kompas.com/read/2008/01/19/1543541/index.html
Ya, betul. BTW tak semua kantong permukiman di sana serem kumuh