Jawaban untuk judul: bukaaaannnn. Terutama jika yang menjawab pihak pemerintah dan pendukungnya. Sudah menjadi naluri sosial manusia: selalu butuh kawan bukan lawan, terutama setelah memenangi pertandingan menuju kekuasaan.
Maka Jokowi, dan pendukungnya, berupa partai maupun warga biasa, senang ketika pada periode kedua dia dan Prabowo berekonsiliasi untuk berkoalisi. Kelanjutan ceritanya adalah hasil Pilpres 2024.
Lalu pertanyaan mendasar dalam demokrasi adalah: apakah setiap orang sanggup bertahan dengan oposisi, dan bahkan membela serta mempertahankan oposisi?
Jawaban yang hanya bagus untuk mengajari murid dalam kelas, karena tampak mulia, namun mungkin tampak naif, adalah, “Saya akan mempertahankan kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan berpendapat dari pihak yang berseberangan dengan saya.”
Kubu ini mengenal varian. Yang paling pejal, dalam kasus Indonesia, adalah menyoal dasar moral dan hukum pemerintah saat membubarkan HTi dan FPI. Si penentang sih bisa berada di garis yang berseberangan dengan kedua organisasi itu. Salah satu ajuan rumus: apakah boleh negara menghakimi pikiran dan gagasan orang?
Tentu ada kelompok tengah, yang punya pembenar macam ini: jangan memberi kesempatan kepada pihak yang antidemokrasi namun ingin mendapatkan kekuasaan dengan menumpang demokrasi. Setelah menang, atas nama dukungan rakyat, mereka akan menghapus kebebasan. Sikap ini bertolak dari asumsi, menepikan skeptisisme.
Baiklah kita tinggalkan bahan perdebatan berat dan ngeselin tadi. Persoalan kini adalah kalau PDIP punya orang di kabinet Prabowo dan posisi lain β demikian pula misalnya jika akhirnya Nasdem, PKS, dan PAN juga demikian β apakah Prabowo tidak menjadi terlalu kuat, tanpa pengimbang? Prabu Mulyono kemarin bisa semaunya karena terlalu kuat.
Soal lain berbau pertanyaan usil: kenapa PDIP bisa bekerja sama dengan Gerindra tetapi dengan Demokrat tidak? Semasa dua periode SBY, PDIP menjadi oposisi.
Kalau jawabannya adalah beda kualitas hubungan pribadi Prabowo dan Megawati jika dibandingkan dengan hubungan SBY dan Megawati, orang bisa lebih usil. Misalnya berkomentar, “Halah katanya demi bangsa dan negara, masa sih urusan pribadi dua pemimpin nggak bisa diatasi?”
Tulisan ini adalah respons terhadap hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilansir hari ini (18/10/2024) di Kompas.id. Hasilnya: 87,2 persen responden setuju ada oposisi untuk mengontrol pemerintah, namun di sisi lain 73,1 persen responden setuju jika setiap partai yang punya kursi di DPR juga punya kursi di kabinet.
Maka wacana oposisi ini, dalam tanggapan ala Suroboyoan berbunyi, “Yok opo, seeehh…”
Β¬ Infografik: Kompas, Antara
2 Comments
Menjadi oposisi tapi masuk kabinet. Berarti sesuai dengan survei :D
Yah gitu dehπ