Betul, ada tulisan nasi pecel pada stiker yang saya foto. Tetapi bukan itu akan saya bahas. Yang saya bahas ya soal stiker sebagai stiker, apa pun desain dan isi pesannya.
Stiker ini saya dapati di pada sisi atas bangku beton dalam ruang tunggu keluarga di sebuah rumah sakit. Ruang tersebut untuk untuk para penunggu pasien ruang perawatan intensif di dekatnya.
Saya melihat stiker ini saat orang di sebelah saya, yang saya kunjung, sedang bangkit berdiri. Tentu saya tak tahu siapa, dan kapan, yang menempelkannya. Namun saya membatin satu hal: ada saja orang menempelkan stiker karena iseng. Padahal itu dapat merepotkan orang lain.
Stiker ini, sebagai sarana promosional, saya duga tertempel pada kemasan makanan, sekalian untuk segel. Lalu orang yang akan menyantap isinya menyempatkan diri melepaskan stiker tersebut dengan saksama untuk kemudian dia tempelkan pada keramik bangku beton.
Umumnya stiker setelah tertempel makin lama makin melekat. Sulit untuk melepaskannya. Apalagi jika berbahan kertas. Pengecualian berlaku untuk stiker berbahan apa pun yang memang dirancang untuk mudah diangkat, biasanya bukan untuk segel.
Jadi, apa masalah saya? Secara langsung dan pribadi tidak ada. Ruang dan bangku itu bukan properti saya, beda kasus dari stiker sedot WC di pintu pagar saya. Misalnya si penempel mengandaikan stiker nasi pecel ini urusan petugas cleaning service, ya kok kebangetan.
Soal lain, tentang stiker, saya teringat dulu zaman kuliah di kamar mandi indekos pria sering terlihat banyak stiker kecil pada pintu bagian dalam: M, L, XL, kadang dengan stiker Rider atau GT Man. Kenapa ya?
4 Comments
Zaman itu merek Paman apa, ukuran berapa? Kok Hing’s tidak disebut dalam konten di atas?
Hing’s dulu seingat saya ndak pake stiker.
Saya pake cawat. 😂
Iseng sing mboten mutu.
Soal kebiasaan, tak menganggap itu sebagai hal buruk buat properti orang lain. Bahkan di pintu dan jendela kamar kos, begitu pun di lemari dan meja, ditempeli stiker. Padahal itu properti induk semang tapi serasa milik sendiri.