“Mas, bisa nggak kita pasang iklan sebagai artikel tapi nggak disebut sebagai advertorial?” tanya orang bagian iklan sebuah majalah seputar teknologi digital, yang kartu namanya menyebutkan account executive, kepada pemimpin redaksi.
Jawaban pemred pendek dan jelas, “Nggak.”
“Tapi client maunya gitu. Pasang iklan yang nggak kentara, pokoknya bukan display.”
“Nggak.”
“Jadi gimana dong? Kalo nggak ada duit masuk gimana?”
“Iklan ya harus dibilang iklan supaya pembaca tahu. Kita suka ngereviu produk, penilaiannya subjektif dari redaksi, kayak orang meresensi buku, musik, dan film. Kalo itu iklan terselubung, pembaca nggak akan percaya. Reputasi itu penting.”
“Itu namanya terlalu idealis, Mas. Duit juga penting.”
“Oh, justru realistis. Kerja pake firewall.”
“Tapi kalo nggak ada duit masuk, gimana kita dapat gaji?”
“Lha masing-masing kan jelas tugasnya? Redaksi bikin produk dengan mendengar masukan sirkulasi, pemasaran, dan iklan. Lalu soal gimana jualan dan dapet duit kan urusan bagian bisnis yang membawahi tiga bidang tadi.”
“Iya tau, Mas. Tau. Kita sebenarnya nggak mau ganggu redaksi. Bahkan untuk bikin advertorial juga minta tolong redaksi, tapi Mas bilang itu bukan kerjaan teman-teman karena mereka bukan copywriter, lantas Mas yang selalu kerjain itu supaya urusan beres, tapi pake ngeledek: ‘Saya nggak minta fee, ini gara-gara kalian nggak mau nggaji copywriter genah.'”
“Lalu apa masalahnya?”
“Mas ini kurang luwes. Maaf kalo saya sebut kurang kooperatif. Udah lebih dari sekali ada iklan produk tapi artikel redaksi nggak positif buat yang punya brand. Iklan display bagus, tapi artikel nggak dukung.”
“Lho, cover story udah dirancang buat setahun, group test udah dirancang tiga bulan sebelumnya, masa terbitnya harus nunggu ada komitmen iklan, lalu konten redaksi mesti senada sama iklan clients? Saya nggak menyoal kapan mereka pesen space karena iklan bukan urusan redaksi. Saya juga nggak akan usul agar client yang bikin rancangan konten, karena mereka pasti milih bikin majalah sendiri yang visualnya keren.”
“Jangan gitulah, Mas.”
“Tapi kalo redaksi bikin reviu bagus, padahal nggak ada brand ngiklan, kalian negur kenapa nggak koordinasi sama bagian iklan, eh abis itu bawa bukti artikel ke calon client. Kayak sorry to say wartawan amplop yang bawa kliping ke narasumber, dengan alasan berita atas inisiatif sendiri harus direspons dengan kooperatif. Kayaknya maunya kalian semua konten redaksi harus bikin bahagia clients dan calon clients. Lalu yang bikin bahagia pembaca siapa?”
“Ya Mas nanya ke atas, ke BOD.”
“Nggak perlu. Mereka juga wartawan, kecuali yang urus keuangan. Mereka paham garis api.”
“Buat saya bukan itu masalahnya.”
“Oh, gitu. Selama saya jadi pemred nggak akan terjadi yang kalian mau. Karena saya jadi pemred bukan dipilih kayak pemilu tapi ditunjuk juragan, ya silakan minta ganti pemred.”
“Umur majalah yang disukai pembaca, tapi sirkulasinya cuma nyumbang pendapatan nggak sampe empat puluh persen, ini bakal pendek.”
“Semoga tidak. Media yang genah juga ada yang awet.”
“Mas, dalam hidup ini sikap yang jelas hanya bisa dimiliki orang yang kaya. Orang miskin harus tau diri.”
“Orang miskin harus belajar jadi kaya dengan jalan yang bener.”
“Utopis, Mas.”
“Lha daripada nggak ada yang baca, nggak ada iklan juga, lalu kita nggak punya kenangan manis, karena gagal di dua lini, kualitas konten dan duit.”
Kita buka dulu Bagaimana awal Grup Tempo mengajukan surat tawaran kerjasama “menyukseskan” Program keberhasilan pemerintah di Kominfo.
Surat tertanggal 20 September 2024.Mereka akan mengkampanyekan #terimaKasihJokowi 🤣 pic.twitter.com/OcaBm1olkD
— RUDI VALINKA (@kurawa) October 13, 2024
Spill dikit proposal untuk paket tempodotco aja selama 3 bulan.
Media online adalah paket “termurah” mereka sementara kelas terberatnya ada di Majalah.Sementara Podcast Bocor Alus adalah compliment (bonus) jika kominfo mengambil semua paket yang ada pic.twitter.com/urZErHKXUl
— RUDI VALINKA (@kurawa) October 13, 2024
Apa itu garis api? 🔥🙅♂️🔥
Dalam kerja jurnalistik Tempo, berlaku prinsip garis api:
Bagian iklan dan redaksi bekerja dalam koridornya sendiri.
Isi pemberitaan tidak akan dan tidak boleh dipengaruhi konten iklan, demikian pula sebaliknya.
— tempo.co (@tempodotco) October 13, 2024
Sekian. Itu tadi rekonstruksi percakapan fiktif dengan dramatisasi, seolah-olah dengan latar peristiwa dua puluh tahun silam, di antah berantah, untuk menanggapi kasus bagian bisnis Tempo dengan Kominfo.
Soal redaksi dan bagian bisnis kadang tidak sinkron itu, ehm… dalam istilah klise disebut “bagian dari dinamika”. Peran pemilik media, serta serikat pekerja, dan pemilikan saham oleh karyawan, amat penting. Kasus pencopotan konten arsip daring sebuah media berita oleh juragan, atas desakan mitra bisnis, beberapa tahun lalu, tidak akan saya bahas; silakan menanya orang yang lebih paham masalahnya.
Yang pasti saya tak menganggap media sebagai lembaga yang suci.
Bagaimana dengan acara rutin Kompas 100 Forum yang kali ini ditaja oleh PLN dan berlangsung di IKN, silakan menanya orang yang paham duduk maupun berdiri perkaranya.
¬ Gambar praolah: Unsplash, ilustrasi hasil karya kecerdasan artifisial atau akal imitasi
2 Comments
Pemred yang 👍
Apakah dia pemrednya Bapak Farid Wong?
Cobalah bertanya kepada rumput yang digoyang Mister Wong