Tak ada yang baru dalam penjualan maupun pembelian alat musik bekas. Sejak dulu ada. Yang menjadi persoalan adalah jalur yang tepat untuk mempromosikan jualan dan kebutuhan. Misalnya buka toko di platform lokapasar, lalu bagusnya pilih yang mana.
Dulu pada masa jaya Kaskus ada forum jual beli. Demikian pula saat blog masih menyenangkan, sehingga Blogspot menjadi etalase jualan. Tentu karena tanpa sistem jual beli beneran maupun gerbang pembayaran, keamanan transaksi jadi meragukan.
Lalu bagaimana dengan penjualan iklan di tembok orang? Nasib si kertas tergantung pemilik properti dan satpol PP. Belum banyak yang melihat lalu membacanya tetapi kertas sudah raib.
Sedangkan berpromosi di media sosial belum tentu mudah, apalagi jika si pemasang info — bukan iklan berbayar – tidak punya banyak teman maupun pengikut.
Dulu, pada akhir 1990-an, saat krisis moneter dan setelahnya, namun belum memasuki tahun 2000, di koran selalu ada iklan baris jual alat musik bekas. Yang paling mahal tentu piano bekas dengan jasa setem.
Ada satu hal menarik. Penjual rumahan untuk alat musik bekas, di Pasar Rebo, Jaktim, saat itu menjual saksofon bekas dengan bonus les gratis untuk sekian pertemuan. Saat itu saya membatin, komponis Ismail Marzuki meninggal karena tuberkolosis yang ia dapatkan dari saksofon bekas pakai pemain orkes RRI.
2 Comments
Baru tahu soal penyebab wafatnya Ismail Marzuki.. Zaman sekarang mesti disterilkan dulu sebelum dipakai, apalagi pasca-Covid ya, Bang Paman
Tentu, kebersihan adalah segalanya, Mbak Mpok. Buktinya di korps marching band bisa, alat tiup kan diwariskan. Dengan membolehkan alat dibawa pulang, maka si anak akan merawat trumpet dan sebangsanya. 😇💐