Menarik, tata letak Kompas hari ini, berisi catatan untuk satu dasawarsa Presiden Jokowi, yang dikemas dua halaman, di depan dan belakang.
Di halaman muka ada gambar Jokowi pakai pantofel sedang membuka pintu, akan memasuki sebuah ruang, pada 2014. Di halaman belakang ada Jokowi pakai sniker sedang membuka pintu, pada 2024, seolah akan keluar dari sebuah ruang.
Di halaman lain depan ada serial gambar Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla. Di halaman belakang dia bersama Wapres Ma’ruf Amin.
Di sini saya tak membahas Jokowi melainkan desain grafis koran. Koran sebagai kertas fisik maupun e-paper memberi peluang olah visual, suatu hal yang dalam laman web maupun aplikasi juga bisa dilakukan namun lebih merepotkan. Apalagi kalau harus mempertimbangkan ukuran berkas laman dan kecepatan akses bagi umumnya gawai pembaca.
Persoalan lain, berapa banyak sih yang masih baca koran jika dibandingkan sepuluh tahun silam? Kini kebanyakan orang sudah puas membaca berita di ponsel dan tablet dengan tata letak kurang dinamis, bahkan gambar pun boleh seadanya, jika perlu tanpa memedulikan hak cipta. Sudah begitu tampilan media digital disesaki iklan pengganjal mata karena jumlahnya berlebihan.
Informasi sudah sangat deras, orang tak perlu berkhidmat dalam membaca berita. Orang ingin cepat mencerna semua berita yang mereka perlukan, namun di sisi lain masih ada media berita dengan berputar-putar, pakai halaman bersambung lebih dari sekali pula, seolah-olah meniru gaya koran padahal tujuannya bukan untuk menyiasati ruang melainkan trafik dan iklan. Kenyamanan baca bukanlah prioritas.
Bahkan “jurnalisme segini” dan “jurnalisme begini” dalam judul seperti menjadi pakem baru. Jangan sampai orang cukup membaca judul dan intro sudah tahu isinya, apalagi nasib berita cuma menjadi tangkapan layar untuk dibagikan, tanpa menyertakan tautan.
Yeah, zaman sudah berubah. Orang old skool seperti saya cukup menonton saja. Beruntunglah saya, masih ada media yang cocok untuk orang sekolah lawas, entah sampai kapan. Maksud saya media dengan liputan mendalam, jika perlu dengan kajian data dan investigasi, disertai ilustrasi dan foto yang layak pandang hasil karya awak redaksi.
Bagi pembaca, urusannya lebih simpel. Kalau cuma urusan visual pemanja mata, di media sosial banyak yang bagus. Ngapain juga berharap dari media berita terlembagakan?