“Oom Kam liat perang isu di medsos, antara yang pro dan anti-Jokowi? Kok nggak nyambung ya?” sore tadi Rudi Kedondong bertanya. Kamso hanya tertawa.
Maka Rudi pun cemberut, “Apanya yang lucu, Oom?”
“Aku tau maksudmu, karena kamu bagian dari orang yang kuciwa ama Jokowi soalnya dia merusak demokrasi. Tapi kamu kesel sama seberang, mereka bukannya mbantah dengan data malah cerita apa yang Jokowi lakukan selama sepuluh tahun, pake data. Gitu kan? Hahaha!”
“Ya, bener. Kayak anak ditanya kenapa ngerusak motor orang tapi jawabannya yang penting saya ganteng, banyak cewek naksir, ada daftarnya. Nggak nyambung itu, Oom!”
“Kalo kamu jadi pendukung Jokowi kayak dulu pasti juga melakukan yang sama, soal capaian, pake data. Sementara yang kecewa sama Jokowi soal demokrasi cuma emosi, nggak pake data kekecewaan rakyat. Serangan pake isu A yang kualitatif ditangkis pake isu B yang kuantitatif. Emang nggak ketemu. Hahaha!”
“Artinya soal rusaknya demokrasi, etika politik, termasuk komisioner KPK yang diupayakan rampung sebelum Prabowo dilantik, jadi nggak penting buat mereka!”
“Sebenarnya hasil pilpres udah nunjukin kalo isu etika itu nggak penting, Rud. Kayak zaman Orba, buat pendukung Harto yang penting hasil pembangunan. Demokrasi dan HAM nggak bikin rakyat kenyang, malah berantem mulu. Hahaha.”
Lalu Rudi meracau macam-macam. Kamso memotong, “Sebenarnya lebih menarik nunggu pendukung Gibran menangkis serangan yang menyoal fufufafa. Masa sih mereka harus nunggu setelah 20 Oktober?”
“Mereka belokin masalah dengan belain Mulyono, Oom! Mereka pro-Gibran karena faktor bapaknya. Siapa itu yang ngaduin Roy Suryo kan nyebut diri pembela Jokowi, bukan pembela Gibran.”
“Kesian Gibran dong nggak punya relawan pembela dalam kasus fufufafa, padahal waktu putusan MK banyak yang dukung dia sampai ke TPS. Mestinya mereka konsisten. Atau, kalo balik badan ya dinyatakan kayak yang dilakukan bekas pendukung Jokowi, eh Mulyono.”
“Balik badan kan nggak ngefek, Oom. Gibran nanti tetep dilantik.”
“Serangan buat Gibran juga nggak ngefek, Rud. Hahaha!”
¬ Gambar praolah: Reuters, Detik
3 Comments
Benarkah serangan ke Gibran nggak ngefek (sama sekali)? Prabowo, karena alasan tertentu, mungkin bisa menerima (pernah) dihina oleh Fufufafa kayak begitu. Tapi bagaimana dengan keluarga besarnya? Bagaimana dengan anak dan eks istri?
Dalam jangka pendek ditoleransi. Tapi entah di tengah jalan apakah apakah kernet diganti.
Persoalan ini jadi konyol dan rumit karena pihak-pihak yang kecewa dan sakit hati bisa berbeda alasan. Pihak yang mencoba netral, apa pun pilihan politiknya dalam Pilpres, sangat menyayangkan. Pihak yang kecewa thd Mulyono krn putusan MK, ada yang menyayangkan sekaligus nyukurin. Pihak yang pilih Bowo, krn sejak dulu ingin dia jadi presiden, tentu kesal, apalagi Gibran blm mau mengakui scr terbuka. Adapun yang pilih Bowo krn faktor Jokowi, ya kesal tapi ada yang menyesal. Sedangkan yang sejak dulu anti-Mulyono, ini kesempatan menghajar si bapak dan keluarganya.
Yang jadi masalah, pelantikan wapres gak bisa dibatalkan. Harus dilantik dulu baru nanti disingkirkan dgn cara halus elegan. Soal ini pun tak mudah kecuali Bowo ikhlas memaafkan.
Soal PTUN dsb, apa boleh pengadilan tingkat pertama membatalkan hasil pilpres?
Persoalan bisa mereda kalau di tholé mengakui scr terbuka, minta maaf tak hanya kpd Bowo dan keluarganya plus pendukung tetapi juga semua rakyat termasuk yang gak milih mereka maupun golput. Ini menyangkut edukasi sosial politik untuk masa depan.
👍