Saat akan menyeberangi jalan, pandangan saya terpentok deretan kios florist — ah, saya indonesiakan saja sebagai floris, mendahului KBBI. Ada lebih dari satu krans di sana. Namun saya tak tahu, itu bekas pakai ataukah barang baru yang belum diantarkan. Seperti lazimnya krans, tak ada tanggal-bulan-tahun yang tertera.
Ada juga papan krans besar yang polos, disandarkan terbalik pada dinding. Bambu rangka untuk memegang Styrofoam itu tampak jelas. Saya menduga itu karangan bunga bekas pakai.
Bagi penerima, menangani karangan bunga itu bisa merepotkan. Bisa dalam suasana suka maupun duka, masalahnya sama: setelah itu karangan bunga akan diapakan? Jawaban mudah tentu ada, yaitu menjadi urusan petugas kebersihan.
Tetapi lebih dari sekali saya melihat krans untuk dukacita di perumahan biasa dan kampung tak segera tertangani, kecuali ada orang yang bisa ditugasi untuk membuang maupun memereteli.
Menitipkan karangan bunga bekas pakai ke truk sampah butuh biaya tambahan. Satu karangan bunga saja memenuhi bak truk sampah apalagi kalau sampai belasan bahkan lebih.
Maka saya teringat pengalaman sahabat saya saat ibunya meninggal. Setelah pemakaman usai, kakaknya menghubungi floris yang dia kenal baik, padahal mungkin bukan floris yang mengerjakan semua krans berpapan untuk rumahnya, untuk mengambil semuanya. Urusan beres.
Saya membayangkan, kalau semua floris bisa diajak kerja sama, maksud saya mereka yang mengambil sonder ongkos, tentu bagus. Sama-sama memetik maslahat. Rumah kita segera bersih, demikian pula pagar tetangga yang terhalangi krans, dan floris dapat barang yang bisa dipakai ulang, berupa rangka bambu dan Styrofoam utuh.
Bukan tidak mungkin, krans yang sampai di rumah kita juga merupakan barang yang dipakai ulang. Dari sisi lingkungan, hal itu menunda pertambahan sampah.