Saya yakin tak sendirian. Banyak teman senasib, terutama yang sebaya. Yaitu dalam mengingat nama baru. Oh ralat, bahkan nama orang yang sudah lama saya kenal namun jarang berinteraksi, saya juga lupa. Jarang itu, maksud saya, tak setiap hari berinteraksi secara fisik melalui tatap muka dan saling sebut nama.
Saya makin menyadari kemerosotan daya ingat setelah ada grup WhatsApp. Grup tersebut antara lain mencakup sekian kelompok di gereja dan RT. Lebih khusus lagi jika nama perempuan. Apakah karena saya mengidap misogini, sehingga otak saya berhasil saya setel untuk tidak mencatat? Semoga tidak. Bukan itu.
Nama diri terkikis setelah kawin
Nama perempuan yang saya maksudkan adalah ibu-ibu, istri dari para bapak. Kebiasaan patriarkal kita sejak dulu mengutamakan nama pria: Pak Ali, Pak Badu, Pak Cholil, Pak Dasuki, dan seterusnya.
Pengurutan contoh nama secara abjadiah barusan itu meniru Pak Mudjiono, guru saya di SMA dulu. Maka saya mengandaikan istri setiap bapak itu adalah Bu Ali dan seterusnya, tinggal menambahkan prefiks Bu, dengan catatan perkawinan mereka adalah monogam.
Istri menyebut saya payah, sudah dia beritahu bahwa Sri Irianti adalah Bu Joko Antemono, dan Ika Nuswantari adalah Bu Mulyono Tempilingen¹, kok saya tetap lupa. Dalam akun WhatsApp, jika nama mereka tak disertai foto diri, saya sulit mengenali. Di Facebook mungkin juga sama, namun sudah belasan tahun saya tak bermain di platform itu.
Dulu nama perempuan sebelum kawin tetap melekat jika mereka punya aktivitas di luar rumah. Ibu-ibu yang punya warung di rumah cenderung lebih sering dipanggil Bu Anu sesuai nama suami. Bahkan, maaf, nama asli seorang ibu kadang kita ketahui saat beroleh berita lelayu, termasuk dari Toa masjid.
Lain halnya jika mereka berjualan di pasar atau kios bukan di rumah, maka nama diri masih melekat. Jika menyangkut warung makan, dan nama diri menjadi jenama dagang, para perempuan itu masih dilekati nama diri, bukan Bu Siapa. Di area saya ada sejumlah warung dengan jenama berawalan Mpok, Umi, dan Bunda.
Bahkan dulu perempuan yang berkarier di luar rumah pun hanya punya nama di lingkungan kerjanya, namun di lingkungan tempat tinggalnya mereka bisa hanya sebagai Bu Itu — kecuali mereka adalah dokter yang praktik di rumah. Tentu ada pengecualian, dalam keluarga besarnya Bu Bambang dipanggil sebagai Tante Tuti dan Bu Fauzi adalah Bude Nisya.
Ponsel dan media sosial
Saya punya dua anak perempuan. Saat memberi nama anak, saya dulu membatin jangan-jangan mereka kelak akan bernama Bu Entah. Tetapi dulu belum ada media sosial. Kini setelah ada media sosial, setiap ibu punya nama diri.
Dulu banget saya dan teman sebaya membandingkan cara ibu kami mencatat nama orang di ponselnya. Hampir semua perempuan bersuami dalam lema kontak ibu kami berawalan Bu. Ketika tak semua ponsel pra-ponsel cerdas menyediakan fitur pencarian nama pada kartu SIM, menyigi nama setelah Bu, satu per satu, itu merepotkan. Untunglah kapasitas kontak pada kartu SIM zaman dahulu hanya sampai 50 entri.
Meskipun demikian, saya beroleh kesan di perdesaan Jawa nama asli kaum ibu lebih diingat, apalagi jika mereka kelahiran lokal, atau hadir di sana sejak menjadi gadis kecil. Misalnya Yu Jiyem, Mbok Darsi, Mak Iyah, Bu Ratmi dan Bu Asri; dua yang terakhir itu guru dan bidan, karena Bu yang lain biasanya mengikuti nama suami, misalnya Bu Wongso dan Bu Jayus. Namun itu dulu, abad lalu, ketika saya agak sering ke desa, antara lain ikut penelitian.
Nama pria juga tak teringat
Sebenarnya tak hanya terhadap ibu-ibu maka saya kini mudah lupa namanya. Terhadap pria juga. Pagi tadi, dari dua teknisi mesin cuci, hanya satu orang yang saya ingat: Udin. Yang satunya, dengan nama Jawa yang lumrah alias generik, saya sudah lupa.
Nama penulis terkenal pun kini saya mulai lupa. Demikian pula nama menteri, bahkan pernah saya gagal mengingat nama Menteri Muni. Dengan bantuan Google akhirnya saya dapatkan: Budi Arie Setiadi, ya si menkominfo itu. Anehnya saya masih ingat nama Suchinda Kraprayoon, dia PM Thailand 1992—1993.
Meskipun demikian saya masih dapat mengingat nama teman SD padahal setelah lulus kami tak pernah bersua. Salah satunya adalah cowok bernama Çri Ngatyani Kertodipodjo Widyodarmaju — dibaca sesuai ejaan pra-EYD.
Oh ya, tiba-tiba saya membatin adakah lagu pop Indonesia yang judulnya menyebut Bu lalu nama suami? Saya belum menemukan. Namun saya ingat, Simon & Garfunkel punya lagu “Mrs Robinson”.
¹) Jangan menuduh saya yang tidak-tidak, karena sejak dulu, bahkan dalam desain infografik, saya kerap menyebut nama fiktif Antemono Tempilingen. Anggap saja itu semacam Sukab dalam dunia gagasan Seno Gumira Ajidarma.
¬ Foto: Unsplash
2 Comments
Cara saya mengatasi lupa dalam hal nama baru di WA, saya tambahkan kata kunci tertentu. Contohnya : Wanto kawan Mariko, Vina BCA, Totok SMP 10, dan Wawan Meteran PLN.
Sama, saya juga. Apalagi kalau namanya banyak yang punya. Maka ada Bambang RT 1, Bambang Aqua, dst. 😇
Tapi itu kan nama pria yang masuk phone book. Jadi masalah ketika dalam grup, tak semua orang masuk daftar kontak, perempuan pula 🙈