Pekan lalu Kompas memuat laporan pola mengudap kelas menengah saat ekonomi tak menggembirakan. Saya mencomotnya untuk mengutip ucapan pemilik warung, tempat karyawan kantor makan siang: sekarang pengudap lebih hemat, cukup satu jenis lauk.
Di halaman lain, Kompas menanyai sejumlah pemilik kedai, antara lain Wulandari Kusumadyaningrum (58), pemilik Warung Selat Mbak Lies, di Serengan, Solo. Mbak Lies adalah istri Lik Jun, salah satu pembaca setia blog ini. Pokok soal: apakah mereka pernah mendapatkan pengudap ngemplang, makan tanpa bayar?
Kata Mbak Lies, “Soal kapan bisa terjadi pembeli kabur tidak membayar, ya, enggak pasti juga. Kadang pas waktu ramai, kami pikir rawan, tapi ternyata malah enggak ada. Tapi, ketika warung sedang sepi, malah kecolongan. Ada saja pembeli nekat ninggalin nota di meja kasir.”
Para pengemplang itu ada yang datang berombongan. Rombongannya bermacam-macam, bisa terlihat seperti karyawan kantoran, kelompok ibu-ibu, atau rombongan keluarga. Ada satu keluarga, dengan cucu pula, ngemplang Rp500.000.
Saya pernah dua kali ngemplang atau nggabrul, dulu saat kuliah di Jogja, karena panjangnya antrean orang membayar. Yang pertama di SGPC, Bulaksumur. Yang kedua di warung makan anak kos di belakang Hotel Srimanganti. Pada kunjungan berikutnya saya mengakui dosa dan membayar.
Tentu, pengudap di kedai Mbak Lies ada yang mengaku dosa. Ada yang datang melunasi sepuluh sosis yang tempo hari lupa dia bayar. Ada pula yang menelepon karena kurang bayar lalu akan mentransfer via bank, padahal Mbak Lies sudah ikhlas.
“Tapi beliau tetap ingin transfer kekurangan itu. Saya menghargai mereka dan berterima kasih,” ujar Nyonya Junianto itu.
Lain kali saya akan mencoba nggabrul di warung selat itu, lalu menelepon, “Biar Mas Dhodhok yang nalangi.” Pria tersebut adalah suami dari juragan kedai. Semoga beliau tidak menagih melalui komen di blog ini.
5 Comments
:))
Mbak Mpok mau coba di warung Mbak Lies? 😂🙈
Mau 😃
Tapi gak tahu kapan 🙈
Baiklah.🙈
Gak jadi ah. Entar orang lain pake modus yang sama 😂