Khalayak sempat meributkan penganugerahan gelar doctor honoris causa untuk pesohor dunia hiburan Raffi Ahmad dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) Thailand.
Mereka mentertawainya karena lembaga pendidikan itu tak jelas. Di Indonesia, UIPM juga belum memiliki izin operasional. Olok-olok kian meningkat karena sosok rektornya, Prof. Dr. Mohammad Soleh Ridwan, L.L.M., Ph.D., diragukan dari sisi akademis.
Maka kini terserah si Raffi (37) akan mengapakan gelar itu. Persoalannya menjadi aneh karena sarjana S1, S2, dan S3, yang memperoleh gelar karena memanfaatkan joki tak ditertawakan. Para dosen penulis jurnal yang prosedurnya meragukan, apalagi orang yang menjadi profesor dengan cara tak layak, tetap dihormati.
Tetapi saya membatin hal lain, “Eh, mau ngetawain gimana kalo kita nggak tau mereka pake joki, menulis jurnal pake makelar, dapat gelar profesor juga via jalur ajaib?”
Oke sebagai warga Bekasi yang rumahnya dekat dengan kampus yg kasih Doctor Honoris Causa ke RA, tentu penasaran juga. Berikut guide line cara ke “kampus” nya & aku sengaja pura2 pakai outfit mau ke kampus. Kita mulai dari pertigaan Rawa Bugel-Muchtar Tabrani! LET’S GO! ๐๐ปโโ๏ธ๐จ https://t.co/DWWFsPZrpR pic.twitter.com/Wc30L8JaB8
โ Vincent ๐ฐ (@vincentstefs) September 30, 2024
Apa pun cara mendapatkannya, gelar-gelar itu didukung bukti administratif. Artinya sah โ dengan catatan: lembaga pemberi gelar juga sah. Soal kualitas isi tak sesuai kemasan luar, itu masalah lain. Yang wagu itu kalau seseorang tak punya gelar sama sekali lalu mencantumkannya.
Kita adalah penggemar gelar akademis. Lihat saja materi kampanye para caleg, dan juga calon kepala daerah, yang bangga memajang gelar. Gelar adalah jaminan mutu. Bahkan undangan pernikahan pun memajang gelar akademis mempelai.
Petinggi UIPM yang katanya lagi di Geneva
Tapi keterangan fotonya di Cileungsi ๐น pic.twitter.com/L1DuEIKZHVโ D.A.K. ๐ดโ (@koninkrijck) October 1, 2024
Kawan saya tertawa setiap kali tahu ada pemasang gelar S2 tetapi malas baca buku. Kawan yang lain berkomentar, gelar akademis, apalagi S1, sudah mengalami inflasi.
Beberapa kawan lain yang pernah bermukim di negeri maju heran, politikus di sana tak memasang gelar, demikian pula birokratnya, padahal punya.
Di sini gelar juga disebut dalam perhelatan, termasuk dalam resepsi pernikahan, misalnya ketika menyebut orang yang akan berpidato atau yang akan dipersilakan berfoto bersama mempelai.
Dulu ketika saya mengalami membayar listrik PLN di loket, ada saja panggilan oleh petugas dengan menyebut gelar sesuai nama yang tertera pada lembar tagihan. Misalnya, “Insinyur Bambang Anu” dan “Doktorandus Ahmad Itu”. Oh ya, kabarnya di TPS saat Pemilu 2024 pun ada pencoblos yang bergelar.
Iseng ngecek lewat Google photo nama-nama dari “board” “kampus” UIPM yg ngasih gelar doktor ke Raffi Ahmad. Hasil? Ada guru bahasa di Rusia, ada juga yg ga jelas siapa. Intinya asal comot foto dr situs internet lalu dikasih jabatan di UIPM. pic.twitter.com/tJK6W7iS4L
โ Wendy Prajuli (@wndprj) September 29, 2024
Di Indonesia, surat yang ditandatangani Dirjen Dikti Kemendikbud Ristek tak mencantumkan gelar akademis. Itu surat birokrasi. Demikian pula dokumen yang ditandatangani Mendikbud Ristek.
Lalu bagaimana untuk dokumen akademis? Menurut saya layak dan wajar, apalagi jika menyangkut keabasahan karya tulis ilmiah. Masa nama dosen pembimbing dan penguji skripsi tanpa gelar akademis.
Maka menjadi hal menarik tatkala Rektor Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., Juli lalu meminta gelar akademisnya tak perlu ditulis dalam korespondensi kampus serta dokumen-dokumen selain ijazah dan transkripsi nilai. Bahkan dalam kartu nama pun gelar tersebut tak perlu.
Bagi Fathul, pencantuman gelar menyangkut tanggung jawab moral akademisi.
Dia berujar, “Tapi ini pendapat personal ya. Artinya gini, saya tidak bisa memaksa orang untuk mengikuti saya, saya mencoba menjadikan ini sebagai gerakan kultural ya katakanlah gitu. Kalau ini bersambut maka itu akan sangat baik.” (ยฌ Detik)
ยฌ Foto-foto : akun Instagram @rafinagita1717
2 Comments
Barusan cek KTP, ternyata ada tulisan Drs. di depan nama lengkap saya๐ Saya lupa prosesnya, mengapa dulu petugas pembuat KTP menulis gelar tersebut.
Drs. di lingkungan saya sering jadi ledekan, diplesetkan jadi dodol roti surungan๐คฃ, sedangkan SH diplesetkan jadi sedang hamil๐.
Itu warisan KK. Ada isian pendidikan terakhir.
Padahal ijazah Njenengan enggak nulis Drs kan? Ijazah Jokowi juga nggak nyebut insinyur ๐