Sebut saja bidang beton penutup got itu sebagai trotoar. Dianggap sebagai lajur pejalan kaki. Bahwa dalam praktik ada saja perintangnya, misalnya yang saya foto ini, ah itu biasa. Itu bagian dari potret Indonesia. Ada kayu dan ban bekas, lalu di atasnya ada papan nama usaha bengkel las. Semuanya mengganggu pejalan kaki.
Salah satu buku terbuka tentang masyarakat Indonesia, dan bagaimana pemerintah menata ruang bersama, terlihat di jalan raya. Dalam bahasa yang kemaki, untuk belajar sosiologi Indonesia lihatlah suasana jalan umum.
Di jalan terlihat perilaku orang dalam berlalu lintas, memperlakukan trotoar, memperlakukan got pinggir jalan, menjaga kebersihan, dan masih banyak lagi.
Terlihat di sana bagaimana orang memperlakukan ruang kehidupan bersama. Di rumahnya, orang bisa sangat resikan, tetapi di luar rumah mereka bisa menyampah sembarangan. Bukan hanya membuang bungkus permen dari dalam mobil ke jalan, tetapi juga membawa sampah dari rumah, dengan motor maupun mobil, untuk dibuang di lahan orang atau tanah kosong calon trotoar. Bahkan saya pernah melihat sebuah mobil berhenti sebelum jembatan, lalu penumpangya membuang kantong plastik gembung entah berisi apa.
Artinya, ranah privat dan ranah publik tak berkelindan. Spanduk “jagalah kebersihan, karena kebersihan adalah bagian dari iman”, hanyalah kalimat klise. Hmmm… iman adalah sesuatu yang mendalam, transendental, bisa terasa jauh dari puntung yang dijentikkan ke jalan aspal.
Kebersihan dan iman, boleh jadi juga berjarak dari janji pilkada, sama berjaraknya dengan isu hak pejalan kaki dan kenyamanan ruang publik, sehingga belum tentu menjadi bagian dari kampanye pilwalkot dan pilbup.