Semacam jam malam, sebelum ada mayat di Kali Bekasi

Di mana sebenarnya akar masalah kekarasan remaja, termasuk tawuran? Polisi pun mereka aniaya.

▒ Lama baca 2 menit

Semacam jam malam, sebelum ada mayat di Kali Bekasi

“Apabila pukul 24.00 WIB masih kami temukan anak-anak berkumpul/bergerombol akan kami tindak tegas,” demikian bunyi spanduk yang saya lihat kemarin sore, pukul enam kurang seperempat. Pembuat peringatan adalah Paguyuban Pemuda Pondok Melati, Kobek, Jabar.

Sudah beberapa kali saya melewati pagar tembok di pengkolan lunak Jalan Kecapi itu, namun saya tak pernah memperhatikan spanduk itu. Saya tahu di tepi jalan banyak spanduk, beraneka ukuran, terutama dari warung, sehingga mata kecapaian.

Tumben saya kemarin memperhatikan spanduk maklumat itu. Tempat pemasangannya serasa mepet di badan pejalan kaki. Lebih mudah dibaca pelintas yang ada di sisi seberang jalan. Lajur pedestrian saya adalah kotak cor beton penutup got yang lebar bidangnya sempit.

Semacam jam malam, sebelum ada mayat di Kali Bekasi

Tetapi spanduk ini penting, mengingatkan saya pada kasus penemuan tujuh mayat remaja di Kali Bekasi pekan ini. Dugaan sementara, mereka anggota geng yang siap tawuran namun melompat ke kali, dini hari gelap, karena ada patroli polisi.

Terlepas dari masalah keterbacaan spanduk, maklumat ini saya andaikan bisa menjadi bukti rujukan jika ada remaja kongko dini hari membawa senjata, lalu petugas keamanan kampung mencokok setiap anak dan menyerahkan ke orangtuanya. Bukankah sudah ada maklumat aturan sepihak? Dalam hukum berlaku prinsip, kalau aturan sudah berlaku dan disosialisasikan, semua orang dianggap sudah tahu.

Spanduk ini sudah ada sebelum kejadian di Kali Bekasi. Ada saja masalah remaja di kawasan saya. Terutama kekerasan. Tawuran, penjambretan, pemalakan dan sebangsanya. Bulan lalu seorang ayah, duda, yang saya dan istri saya mengenalnya, kerepotan karena putrinya dan geng ceweknya, yang masih SMP, ditangkap polisi karena menganiaya cewek lain. Geng cewek itu membawa celurit.

Banyak permukiman padat dengan rumah sempit dalam labirin di sekitar saya. Sekarang sudah mendingan, dulu anak-anak dari dua kampung malah tawuran di kompleks saya, bahkan pada bulan puasa. Setiap kelompok tak berani menyerbu kampung lawannya, lebih enak bertempur di kompleks orang. Ada lapangan tapi tak dipakai tawuran, mungkin kalau di tengah tak ada titik untuk ngumpet.

Tujuh tahun lalu, di kampung Rawa Lele, Jatimakmur, agak jauh dari kompleks saya, sekelompok remaja menganiaya dua polisi yang sedang berpatroli dan akan membubarkan mereka yang sedang bersiap tawuran. Kedua petugas luka parah, antara lain karena dibacok celurit dan ditumpuk batako.

Alasan tawuran supaya geng mereka, Rawa Lele 212, dari RT2 dan RW 12, dikenal orang. Siapa yang akan menjadi lawan, bisa siapa saja yang ditemukan untuk dihajar (¬ CNN Indonesia, Viva).

Saya pernah membaca berita, para orangtua yang anaknya ditangkap polisi karena tawuran bersaksi bahwa di rumah mereka anaknya sopan, hormat orangtua, bahkan rajin sembahyang.

Saya tak tahu bagaimana kelakuan dua anak ini di rumah. Dulu, saat menyetir malam, saya pernah dimaki dan diacungi tangan terkepal dari remaja berboncengan motor yang sengaja tak menyalakan lampu pada malam hari, tahu-tahu nongol di tikungan. Saya langsung mengedipkan lampu jauh. Mereka marah. Dengan bahasa tubuh mengancam.

Hanya anak-anak pekok yang sengaja mematikan lampu motor. Mereka beralasan, dengan mematikan lampu motornya mereka tetap dapat melihat jalan. Tetapi orang lain akan sulit melihat mereka, bukan?

Aneh juga, ada yang menganggap mematikan lampu itu keren. Kalau Rocky Gerung tahu pasti akan dibilang dungu.

Tetapi kembali ke spanduk, apakah sudah ada anak-anak ditindak tegas? Saya tak tahu. Itu bukan wilayah kelurahan saya.

Tinggalkan Balasan