Foto pejabat di ruang terbuka

Dalam urusan wajah wali kota ada di pelbagai baliho, kita angkat topi dan tabik untuk Gibran karena dia emoh melakukan.

▒ Lama baca 2 menit

Spanduk bergambar wali Kobek dan camat Pondokmelati

Saya yakin semua orang sudah terbiasa melihat foto pejabat, terutama kepala daerah pelbagai level, dengan seragamnya, dalam spanduk dan baliho. Teknologi cetak digital ukuran besar selama dua dasawarsa lebih ini tak hanya membuat mata khalayak terbiasa namun juga cenderung kebal. Apalagi fotonya sama semua.

Maka ketika melihat spanduk di pagar Kantor Kecamatan Pondokmelati, Kobek, Jabar, saya menanya diri sendiri: dari sebelas orang yang menatap spanduk, berapakah yang ingat nama pejabat wali kota dan wajahnya? Pertanyaan serupa untuk foto dan nama Pak Camat. Untuk gelar akademis mereka pun publik tak ingat.

Jika kita mundur sebelum ada internet apalagi cetak digital, informasi perihal sosok pejabat hanya ada di koran daerah. Itu pun dengan catatan tak semua orang membaca berita tersebut, dan lebih mendasar tak semua orang membaca koran.

Butuh perjuangan bagi setiap pejabat untuk dikenal dan diingat rakyat. Tentu tetap ada pengecualian terutama setelah stasiun TV bertambah: hanya kepala daerah yang sering masuk TV lokal dan apalagi nasional yang akan lebih dikenal rakyat di wilayahnya.

Lalu hari ini? Semua saluran komunikasi dan informasi tersedia, dari WhatsApp sampai aneka pelantar media sosial, ditambah media luar ruang berupa spanduk dan baliho. Kesempatan kepala daerah untuk memampangkan foto diri makin luas terbentang. Untuk media luar ruang yang dipakai pemda setahu saya tak berlaku pajak reklame.

Dalam situasi macam itu, yang repot adalah penjabat (Pj.) kepala daerah. Mereka hanya sementara, duduk di kursinya karena ditunjuk, tentu kurang dikenal bila dibandingkan kepala daerah yang memenangi pilkada. Kepala daerah terpilih sudah dikenal sejak mereka berkampanye.

Lebih repot lagi camat dan kemudian lurah. Mereka juga ditunjuk. Untuk lurah, namanya terdengar dan wajahnya terlihat saat berpidato sambutan dalam halalbihalal RW dan pengesahan hasil pemilihan ketua RW.

Maka pertanyaan berikutnya adalah untuk apa memampampangkan foto diri dalam spanduk kalau mereka tak ingin ikut pilkada, termasuk ke tingkat yang lebih tinggi?

Saya tak tahu jawabannya. Saya hanya menduga mereka menyamakan ruang terbuka untuk media luar ruang dengan Facebook: tempat untuk berbagi info diri termasuk aktivitas. Bahwa sebelum menjabat mereka sudah ikut Facebook, juga Instagram, itu soal kebetulan. Tetapi jika bermedsosria tak mereka lakukan, masyarakat tak tahu siapa pemimpin daerahya dan apa saja yang sedang dan sudah dilakukan.

Meskipun demikian ada juga kepala daerah yang tak mau wajahnya ada di baliho seantero kota. Yakni Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming. Tepatnya saat dia hanya menjadi wali kota. Saya belum membuktikan ucapannya di lapangan.

Tetapi misalnya itu tadi terbukti benar, apa pun penilaian Anda terhadap anak sulung Jokowi itu, bahkan misalnya Anda muak dan mual menjeluak tanpa tersembuhkan aneka tabib dan dokter, kita tetap layak memberikan salut untuk perkara itu. Hanya perkara satu itu.

Bahwa di luar baliho presensi Gibran dulu sudah kuat di medsos, itu soal lain.

2 Comments

Junianto Rabu 18 September 2024 ~ 15.32 Reply

Dulu sudah kuat bermedsos, termasuk di Kaskus?

Pemilik Blog Rabu 18 September 2024 ~ 19.10 Reply

Mmmm saya kurang tahu karena bukan pembaca setia Kaskus. 🙈😂

Tinggalkan Balasan