Sudah beberapa kali saya melalui gang sepi ini namun baru kemarin setelah gelap malam menjemba saya tergerak memotret si kantong keresek merah. Catatan waktu foto menunjukkan 18.20, tiga menit sebelum saya sampai di jalan gelap. Kantong merah itu berisi mempelam.
Sudah tiga kali, malam hari, saya melihat mangga dalam kantong itu, masih tergantung pada tangkainya yang melekat pada ranting. Tinggi kantong yang saya foto menggantung itu segaris dengan dahi saya. Kantong lain ada yang setinggi bahu saya bahkan lebih rendah.
Kemarin saya tergerak memotretnya. Karena sepi, saya mengucapkan salam dan permisi kepada mangga, “Aku mau motret kamu ya mangga.”
Hal itu saya lakukan sebagai niat baik sekaligus untuk berjaga-jaga siapa tahu di balik pagar ada mata mengawasi saya. Dicurigai apalagi dituduh akan mencuri mangga tentulah menjadi kenestapaan bagi orang seusia saya.
Buah mangga yang rendah juga pernah saya jumpai di area saya. Buahnya lebih besar, dibungkus kantong plastik agar tak diserang lalat buah. Di rumah itu dan seberangnya juga ada pohon mangga. Tak pernah saya dengar anak bengal mencuri mangga padahal tinggal petik.
Memiliki tanaman keras, dengan buah yang dapat dimakan, dalam perumahan yang setiap kavelingnya berlahan sempit, tentulah sebuah kemewahan. Memang sih ada eksesnya, akar pohon bisa mengangkat lantai teras dan membuat doyong beton pagar. Sayang tak semua tanaman buah bisa dalam pot.
Namun di kawasan lain, yang bangunannya berlahan luas dengan pagar tinggi, disertai kolam renang pada setiap rumah, saya mendapati pohon mangga di luar tembok yang dibiarkan. Mungkin para pemilik rumah di sana lebih mengutamakan pohonnya demi oksigen dan kicauan burung.