Tak ada yang mengejutkan dengan Munas Luar Biasa Kadin di Jakarta. Ya munaslubnya, ya penggusuran Ketum Arsjad Rasjid, untuk diganti Anindya Novyan Bakrie. Bukankah kabar itu sudah membahana bersamaan dengan isu manuver Jokowi untuk mengobok-obok Golkar?
Majalah Tempo beberapa pekan lalu sudah mengabarkan rencana itu. Jokowi berkompromi dengan Aburizal Bakrie untuk mendepak Airlangga Hartarto, kemudian digantikan Bahlil Lahadalia — dan terbukti. Sebagai imbalannya kursi ketum Kadin untuk Anindya. Tempo menulis, Bakrie bilang kepada Jokowi bahwa sebagai rakyat biasa dirinya menurut saja.
Menurut Bambang Soesatyo, Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Kadin, organisasinya membutuhkan pengurus yang dapat bekerja sama dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Hmmm, bukannya Kadin, yang berslogankan “tabah, jujur, setia” itu wilayah elitis, rakyat kebanyakan tak berurusan dengan kamar dagang dan industri, badan yang merupakan kelaziman di banyak negara? Ya, boleh dianggap begitu. Tetapi Kadin mengurusi juga UKM, serta PHK di semua sektor industri.
Bagi rakyat, semua partai besar juga elitis, cukup mereka pedulikan lima tahun sekali. Organisasi elitis apa pun mau diobrak-abrik siapa saja terserah, tak ada hubungannya dengan perut rakyat. Gitu, kan? Baiklah.
Pendidikan politik paling nyata itu berupa praktik. Kalau caranya kotor, rakyat akan menyimpulkan politik itu nista, tak ada nilai-nilai mulia — kamulyan, kata wong Jawa; maka ada nama Mulyono yang dianggap terlalu berat lalu diganti oleh orangtuanya — tepatnya keutamaan (kautaman, virtue), sehingga rakyat juga boleh realistis: yang penting dalam jangka pendek dapur mereka tetap berasap.
Dalam situasi dan kondisi macam itu, nilai-nilai kehidupan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama adalah urusan ndakik-ndakik, mengawang-awang, seperti jet privat menembus awan.
Pepatah Latin berujar, primum vivere deinde philosophari. Artinya, yang utama itu bisa hidup, baru kemudian berfilsafat. Dalam versi tebaran tafsir populer: kenyang dulu, baru berfilsafat.
Pemimpin yang culas paham cara memanfaatkan alam pikir rakyat macam tadi. Demikian pula pendukung setianya karena mereka rasional: emoh kelaparan.
¬ Gambar praolah: World Economic Forum, Inklusif Kolaboratif
5 Comments
Isu manuver Joko Widodo bermain dengan Ical kok tidak banyak disoal para penentang Joko Widodo, to, Paman? Saya tidak pernah baca di media-media berita online (baru tahu setelah Paman sebut Tempo), pun media sosial(di luar X). Apakah pernah ramai di X?
Saya gak tahu apakah isu itu pernah ramai. Mungkin karena sepaket dgn rencana menggasak Golkar sehingga isu Kadin tenggelam.
Arsjad Rasjid dulu pendukung Jokowi, tapi kemudian mengepalai TKN Ganjar-Mahfud. Dia dianggap mbalela.
Perihal Golkar tak semuanya semulus rencana karena dua hal, yakni Bahlil dan demo tolak revisi UU Pilkada.
Bahlil bikin blunder, nyebut raja Jawa yang sulit dilawan. Ini merepotkan Jokowi sbg wong Jawa. Lalu ada demo besar-besar yang menyangkut Kaesang sehingga Kaesang yang pede siap melawan Anies dan Emil, bahkan siap deklrasi cawagub di Jateng, gagal. Kalo Jokowi nggak menunda niatnya masuk Golkar, bisa tambah masalah. Eeee sakndilalah tholé ragil pergi naik jet privat traktiran, lalu jalannya kesandung fufufafa.
Lalu urusan dgn Ical?
Dalam Kongres Kadin dulu, Anindya kalah dari Arsjad.
Lalu kini “hak” anak Ical akan dikembalikan. Buat siapa? Bukan buat korban Lapindo tentu saja.
Pemimpin yang culas! Semoga setelah 20 Oktober 2024 nanti kena batunya — atau malah kena besinya!
Tergantung jenis batu dan besinya. Ada batu yang bisa membengkokkan besi, dan ada besi yang bisa menghancurkan batu