Kawan saya, yang sempat jadi wartawan, kesal terhadap pidato Presiden Jokowi saat membuka MTQ di Samarinda, Kaltim. Jokowi bilang, media kovensional terdesak oleh media sosial. Itu bukan isu baru. Saya setuju, jadi kenapa kawan saya sewot?
“Ya kesel aja, Kang,” katanya. Lalu, “Tambah kesel waktu dia mengerahkan influencers eh buzzers ke IKN.”
Saya tertawa. Saya bilang, siapa pun presidennya, termasuk capres yang kemarin kalah, kalau menang, juga akan melakukan hal yang sama. Saya pun mengingatkan, “Bukannya Jokowi bilang setiap orang akhirnya harus menjadi redaksi bagi dirinya sendiri saat dapat info dari medsos?”
Penting: pemengaruh dan pendengung
Oh, rupanya masih ada ganjalan karena tempo hari saya menulis bahwa pemanfaatan pemengaruh oleh Istana itu bagus. Maka dia memberikan catatan lisan, “Sampean kayak meledek waktu nulis ada kelompok jurnalis otomotif protes ke APM waktu launching mobil baru, soalnya para influencers didahulukan.”
Saya tertawa lagi. Tetapi dengan masam.
“Jadi sampean setuju lebih penting influencers daripada jurnalis, Kang?” dia mendesakkan tanya. Tentu saya membantah.
Kemudian dia menggerutu, begitu kepayahannya media berita sehingga ada media daring di Jakarta, milik seorang konglomerat, yang memotong gaji awak redaksi.
Campuran saluran komunikasi
Maka inilah sari penjelasan saya untuknya:
- Pemanfaatan pemengaruh bahkan pendengung oleh siapa pun, termasuk pemerintah, itu memang tak terhindarkan karena khalayak lebih punya waktu untuk bermain medsos
- Pemanfaatan kelompok yang merupakan anak kandung medsos itu melengkapi pembauran, bukan pembauran, kanal komunikasi dari kehumasan sampai iklan
- Manakah kanal yang saat ini paling menyedot biaya, harus dihitung tingkat keefektifannya, sesuai tujuan komunikasi setiap isu
- Bisa saja iklan terpampang maupun artikel sponsor di media berita justru lebih mahal karena kurang efektif
- Jika menyangkut pekerjaan jurnalistik, lebih penting seberapa terbuka setiap lembaga pemerintah dan swasta terhadap media
Poin terakhir itu, adalah akses dari lembaga kepada media. Contoh ringan tetapi sebenarnya ribet, mengapa foto berita berkala tentang stok uang tunai di bank sering muncul dari Bank Mandiri, dengan foto hasil jepretan pewarta foto setiap media?
Adapun contoh berat keterbukaan terhadap media — atau pemanfaatan media melalui proses kehumasan — dari sebuah proyek besar adalah revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Nasional Candi Muaro Jambi. Saya tak tahu apakah Indonesian Heritage Agency juga mengerahkan pemengaruh perorangan.
Kemampuan ekonomi media berita
Sebenarnya ada tiga soal bagi media. Pertama: pemberian akses. Kedua: kemampuan media. Ketiga: posisi dan citra setiap media di mata lembaga lain.
Untuk megaproyek IKN tentu — eh, saya andaikan — terbuka terhadap media untuk meliput sendiri, tidak bersama rombongan presiden dan menteri. Masalahnya apakah setiap media berita mau, tepatnya mampu, mengongkosi tim wartawannya ke IKN selama beberapa hari?
Paragraf barusan, ihwal kemampuan ekonomis media berita, bahkan sebelum medsos dan seleb medsos meraja, adalah pertanyaan berat.
Misalnya bukan IKN, apakah setiap media mampu meliput dan menghasilkan foto serta video yang bagus ihwal Freeport dalam reportase mandiri yang leluasa, dengan seizin sahibulbait?
Kawan saya mendengus, “Enak ya jadi influencers dan buzzers, ada yang membiayai.”
Saya menghibur dia, “Nggak semua influencers itu dibiayai, misalnya pereviu resto dan mobil. Mereka bayar sendiri, menilai secara independen. Kalo misalnya diundang pabrikan di luar negeri, mereka juga bilang, dan ngetes mobil dengan opini mandiri. Tapi wartawan media tertentu juga diundang, kok.”
¬ Bukan tulisan berbayar maupun titipan dari pihak mana pun
2 Comments
Terima kasih fencerahannya, Faman. 👍🙏
Bikin media berita yang sehat secara bisnis itu tidak mudah justru karena setiap orang bisa bikin media berita daring.