Namanya juga anak, memarkir sepeda sesukanya

Sepeda seorang bocah diparkirkan melintang di jalan, ditinggal main bola. Tugas orang dewasa adalah mengingatkan anak itu.

β–’ Lama baca < 1 menit

Sepeda anak diparkirkan melintang di jalan

Pasti sepeda seorang anak, saya membatin dari kejauhan sore tadi, pukul lima lebih sedikit, saat berjalan ke arah barat, dan tampak sebuah sepeda diparkirkan melintang di jalan. Setelah sampai di depan lapangan basket saya lihat banyak anak sedang bermain sepak bola.

Sempat terpikir untuk menegur si anak, pemilik sepeda lipat itu, agar menepikan sepedanya, atau memasukkan ke lapangan. Tetapi saya akan ke dua warung, membeli bumbu dapur, lalu setelah itu mencari daun salam ke rumah tetangga.

Maka niat itu pun saya batalkan. Biarlah nanti ada orang dewasa, termasuk pedagang keliling, yang mengingatkan pemilik sepeda. Namun ternyata sepulang dari warung saya masih melihat sepeda itu.

Saya sempat menanya seorang bapak yang sedang mencuci mobil, rumahnya di depan lapangan, “Itu sepeda siapa, Pak?” Dia menyahut, “Nggak tahu saya.”

Akhirnya saya hampiri sepeda itu, dan sambil menunjuk si kereta angin saya berseru ke lapangan, “Hoiii…!”

Anak-anak itu paham maksud saya, lalu salah seorang pemain mendatangi sepedanya sambil cengar-cengir, usianya sekitar kelas tiga SD. Saya bilang kepadanya, “Dik, jangan parkir di sini, entar sepedamu ketabrak mobil, lagian kalo di sini ngganggu jalan.”

Kemudian dia menuntun sepedanya, pindah parkir di lapangan. Saya sengaja mengedepankan risiko ditabrak mobil, bukan soal menutupi jalan, karena itu menyangkut kepentingan dirinya. Tentu akan lebay dan dianggap aneh kalau saya menceramahi dia, “Dulu waktu saya seusia kamu, nggak pernah markir sepeda kayak gini.”

Sebenarnya ada risiko lain, yaitu sepeda dicuri karena anak-anak asyik bermain. Saya tadi berdiri di sebelah sepeda itu tak ada yang memperhatikan.

Hmmm… namanya juga anak. Kata orang Jawa, pikiranΓ© durung jangkep. Artinya, pikirannya belum lengkap. Maka untuk mengendarai sepeda motor ada syarat usia minimum.

Oh, syarat usia minimum. Saya teringat hal lain, bukan sepeda. Sesuai kondisi zaman, penerapan batas usia pasti ada alasannya. Juga atas nama perjalanan zaman, batas usia dapat diubah, asalkan tujuannya jelas, untuk kemaslahatan banyak orang, bukan untuk sekelompok orang apalagi sebuah keluarga, namun disangkal pula.

6 Comments

Junianto Sabtu 7 September 2024 ~ 07.54 Reply

Oh, (sebuah) keluarga Joko Widodo!

Pemilik Blog Sabtu 7 September 2024 ~ 12.24 Reply

Oh gitu? Saya kan nggak nyebut nama itu? Ada apa dengan keluarganya yang berkaitan dengan batas usia?

Junianto Sabtu 7 September 2024 ~ 12.44 Reply

Lho, yang nyebut nama itu kan memang saya, bukan Paman. Tidak ada apa-apa dengan keluarganya yang berkaitan dengan batas usia (pun masalah-masalah lain) karena mereka keluarga yang taat hukum, ngerti aturan dan etika, penuh sopan santun, baik hati, rajin menabung, suka menolong lansia menyeberang jalan, dan seterusnya yang bagus-bagus semua!

Pemilik Blog Sabtu 7 September 2024 ~ 16.11

Nah gitu dong, pujilah keluarga itu πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ˜œ

Junianto Sabtu 7 September 2024 ~ 20.27 Reply

Memuji mereka? Harus! Memuja juga.

Pemilik Blog Sabtu 7 September 2024 ~ 22.56

Pasang baliho bergambar keluarga itu di teras, Lik Jun. Pasti keren. Lalu ajak orang bersujud, siarakanlah di medsos

Tinggalkan Balasan