Sehelai daun kering untuk seorang pria iseng

Ya, di mata istri dan beberapa orang, saya adalah pria iseng. Blog ini pun hasil keisengan. Hubungannya dengan pelacur?

▒ Lama baca < 1 menit

Sehelai daun kering untuk seorang pria iseng

“Mas butuh nggak? Ini mau aku buang,” kata istri saya, sambil mengangsurkan sehelai daun kering yang ia pungut dari depan teras, suatu sore, lima hari lalu.

Kami sama-sama tahu itu bukan daun dari halaman sempit kami karena kami tak punya pohon besar. Kami pun sama-sama tak tahu itu daun apa.

Saya terima daun sepanjang sekira 15 cm itu tanpa tahu akan saya apakan. Tebersit niat untuk pembatas halaman buku, namun daun ini sudah kering mengeras, tampaknya getas mudah retas. Tetapi daun tak saya buang, saya letakkan di atas tumpukan buku.

Baru siang tadi saya terdorong niat dadakan untuk memotret daun itu sendirian maupun bersama undangan pernikahan berwarna cokelat krom. Hasilnya ada di halaman ini.

Sehelai daun kering untuk seorang pria iseng

Lantas mengapa istri saya memberikan daun itu? Ia tahu suaminya suka iseng. Maka kita sebut saja pria iseng. Namun menyangkut istilah, saya tak paham mengapa dan sejak kapan sebutan pria iseng berkonotasi buruk, sering dihubungkan dengan dunia prostitusi?

Perlu riset pustaka untuk mengendus sejak kapan media berita hiburan dan berita menggunakan istilah pria iseng. Tampaknya istilah itu muncul bersamaan sebutan wanita tuna susila (WTS).

WTS adalah suatu sebutan eufemistis sepihak dari standar moral memperhalus kata pelacur. Kini sebutan pekerja seks komersial (PSK) lebih diterima. Memang sih ada yang berkeberatan apakah dalam ketenagakerjaan hal itu termasuk “pekerjaan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” seperti diamanatkan Pasal 27 ayat 2 UUD 1945?

PSK, WTS, pelacur, lonte

Ada juga soal beda tipis dalam praktik antara pekerja seks (komersial) dan perbudakan seks dalam ranah perdagangan orang. ILO sejauh ini mengakomodasi sebutan sex worker.

Tetapi soal itu kita bahas lain kali. Sekarang sila baca sebuah laman tentang perjuangan pekerja seks dari International Institute of
Social Studies (2023), Universitas Erasmus,Rotterdam, Negeri Belanda.

Tinggalkan Balasan