“Aku sejak dulu nggak suka Anies sejak dia dipecat Jokowi dari jabatan Mendikbud, apalagi waktu Pilkada Jakarta ngelawan Ahok dulu. Tapi lihat dia dijegal, diperlakukan gitu, aku kesian sama dia, Mas,” kata Kamsi, saat ngeteh sore.
“Yeah… sama. Aku juga,” sahut Kamso, suaminya.
“Salah dia apa kok dicangar, sama kubu yang dulu jadi bala, lalu sama kubu yang jadi lawan, PDIP itu?”
“Menurutmu, Jeng?”
“Kalo mereka nggak mau sama Anies yang main politik SARA dan nggak ada prestasinya waktu mimpin Jakarta, jangan dirangkul lalu didepak dong!”
“Oh gitu, ya? Mosok?”
“Halah jawaban ramutu!”
“Jadi, piyé Jeng?”
“Itu tiga partai nggak usah PHP ke Anies padahal menyandera supaya dia nggak maju sebagai calon independen. Kalo Anies mau, pasti dapat dukungan banyak, nggak perlu nyatut KTP.”
“Oh iya ya… Kalo Anies sama Banteng?”
“Ini jelas jurus tipu. Anies tuh nggak sesuai selera PDIP, terutama pendukung Anies waktu ngelawan Ahok. Nggak ada chemistry. Lah ngapain PDIP kasih angin, Anies udah dateng ke markas Mega, eh taunya nggak ada deklarasi Anies buat cagub Jakarta! Ini namanya dibikin kecangar! Kok tega ya, Mas?”
“Dulu Mahfud hampir gitu tapi belum sempat sampai di tempat acara deklarasi koalisi capres cawapres.”
“Tapi kalo Anies parah. Dia nggak bisa maju independen, dijegal sana sini, waktunya nggak cukup buat ngejar deadline. Jangan gitulah mainnya!”
“Lha ya itu… ”
“Terus yang mestinya paling tanggung jawab siapa, Mas?”
“Selain Anies sendiri? Coba tanya Anies, Jeng.”
“Atau kita timpakan aja ke Raja Mulyono, Mas?”