Mereka, para penjahat laknat itu, laki dan perempuan, tega nian menyewa ruang kantor di ruko untuk memeras pencari kerja. Setiap pelamar setor uang Rp1,5 — Rp1,7 juta. Tetapi pekerjaan tak didapat. Uang tak kembali.
Sebuah kantor penipu dalam sehari didatangi rata-rara 10—15 orang. Padahal kantor buka Senin-Sabtu. Selama sebulan, kantor licik tersebut beroleh Rp408 juta—Rp600 juta.
Serial laporan Kompas pekan lalu, hasil liputan Mei-Juli 2024, membuat saya prihatin dan jengkel. Kenapa mereka, para penjahat itu, yang ada di sejumlah tempat, bisa sesukanya seolah-olah negeri ini tak punya hukum?
Semua anggota staf kantor-kantor macam itu menggunakan nama samaran. Yang paling menjengkelkan, pemateri tentang bidang kerja selalu menekan pencari kerja yang kadung membayar, menggoblok-goblokkan, para peserta hanya boleh bertanya kalau diberi kesempatan. Pertanyaan tentang hak pekerja tak dijawab.
Selama berurusan dengan kantor-kantor penjahat itu, semua ponsel harus dititipkan. Bahkan ponsel wartawan Kompas yang menyamar dipinjam oleh satpamwan kantor dengan alasan mencocokkan undangan, namun ternyata untuk menghapus video percakapan di kantor terkutuk itu.
Posisi pencari kerja lemah. Mereka mudah percaya iklan fiktif lowongan, yang persyaratannya mudah, namun iming-iming gaji di atas UMP. Padahal secara sepihak semua perusahaan yang tak terdaftar di Kemenkumham itu ogah mengembalikan uang dengan alasan kesalahan ada pada pelamar.
Seorang pelamar (Vina, 19) setelah membayar Rp1,7 juta untuk bekerja di restoran Saung Sunda, melalui sebuah kantor di Jatinegara, Jaktim, seakan-akan aman. Dia dinyatakan diterima, tetapi dirinya dikirim ke sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Kalideres, Jakbar. Si penyalur meminta dia mendatangi sebuah resto di Jakut. Ternyata resto tersebut tidak ada.
Saya membatin, uang Rp1,7 juta dan biaya perjalanan di Jakarta tidak sedikit bagi masyarakat menengah ke bawah. Entah dari mana Vina dan korban lain mendapatkannya selain menguras tabungan dan sisa pesangon. Semoga bukan dari pinjol.
Lalu saya membayangkan hal lain yang mencemaskan. Akan dikemanakan dan diapakan semua kopian KTP, KK, dan ijazah pelamar oleh para penjahat itu?
Ternyata semua dokumen itu tak mereka perlukan. Wartawan Kompas yang mengaku semua dokumennya tertinggal di rumah pun tetap diproses karena yang penting membayar biaya pelatihan dan penempatan.
Untuk promosi lowongan rumah makan, para penjahat itu menggunakan nama restoran fiktif, antara lain Norren Han Sushi dan Tokugawa Shabu Sushi, lalu foto-fotonya tinggal mencomot dari situs lain, termasuk blog. Ada pembuat web khusus untuk itu, memanfaatkan WordPress, namun dengan nama domain sendiri.
Untuk lowongan di bidang lain, semisal teknik, mereka menggunakan nama perusahaan yang mirip dengan perusahaan lain. Misalnya PT Nitera Mobiliti Indonesia, sepintas mirip PT Nitera Mobility Indonesia, nama baru dari perusahaan NGK Busi di Indonesia.
Saya membayangkan, komplotan laki dan perempuan jahat itu ketika hari raya ditanya kerabat kerja di mana, akan bilang di perusahaan konsultan human resources, khususnya recruitment.
Namun ketika paman dan bibinya menitipkan anak untuk dicarikan pekerjaan, mereka akan mengelak. Alasannya, rekrutmen berlangsung fair, tanpa jurus oral.
Lalu mereka memberikan alamat laman web berisi lowongan beneran, dari perusahaan yang orang HRD-nya tak mereka kenal, dan tentu perusahaan asli tersebut tak tahu menahu perusahaan licik tersebut.
Inti cerita, jurus tipuan berlanjut ke keluarga sendiri, kalau perlu ke anak sendiri dan guru sekolahnya, bahwa ayah dan bunda bekerja di perusahaan swasta yang baik dan benar. Tetapi ada yang mendasar: kapankah polisi menggulung komplotan-komplotan itu?
¬ Infografik: Kompas, tanpa izin