Asyik baca buku sampai tak tahu penumpang sudah habis

Dulu: akan dianggap asosial kalau yang lain ngobrol, tapi Anda baca buku. Kini: biasa saja kalau Anda asyik dengan ponsel, padahal yang lain ngobrol.

▒ Lama baca 3 menit

Asyik baca buku sampai tak tahu penumpang sudah habis

Dari sepuluh kutipan berisi pengalaman penyuka buku, dalam iklan sehalaman di koran Kompas, hanya satu yang mengesankan saya. Lia, si penulis, sampai tak sadar bahwa penumpang bus sudah turun semua karena ia terbenam dalam buku yang dibacanya. Saya rasa ini pengalaman banyak orang: lupa sekitar karena asyik membaca.

Dulu, abad lalu, pada era loket inkaso, saya membayar listrik sebelum ke kantor. Antre lama, kadang berdiri menyender tembok. Membosankan, buang waktu, karena belum ada pembayaran daring.

Sambil menunggu nama saya diteriakkan oleh petugas loket dengan suara parau karena kecapaian, dengan artikulasi tak jelas, saya membaca buku atau majalah, tabloid, dan koran — kadang komik Donal Bebek.

Maka peristiwa seperti si puan dalam bus itu pun terjadi. Beberapa kali. Saya tak enak hati dilihati banyak pengantre karena saya merugikan mereka. Untunglah saya punya solusi: sengaja membayar telat di kantor PLN Kramatjati, Jaktim, dua hari setelah jatuh tempo. Cuma didenda tipis, namun tak perlu mengantre. Biaya denda lebih murah daripada ongkos beli minuman dan bacaan di sekitar rumah inkaso.

Selain Alkitab dan Al-Qur’an, buku Mao disukai

Iklan sehalaman dengan ilustrasi cantik karya Riska Holakanola tadi menyediakan tautan ke laman kampanye membaca dari Penerbit Buku Kompas. Mereka telah menjaring 930 kesaksian penyuka buku.

Menurut Anda, dengan penjaringan oleh koran sebesar Kompas, jumlah tak sampai seribu itu banyak atau sikit?

Baiklah, sebelum gawai sering menjadi kambing hitam, minat dan kebiasaan baca buku orang Indonesia dianggap rendah. Silakan Anda cari datanya. Kalau data di World Population Review tentang kebiasaan baca di dunia masih mencampuradukkan tahun.

Namun laporan tersebut mengakui, makin ke sini orang lebih suka membaca layar digital, bukan kertas. Adapun buku yang paling banyak dibaca adalah Alkitab, Al Qur’an, serial Harry Potter, kumpulan kutipan Mao Zedong, dan Lord of the Rings.

Tentang Mao, sekira 30 tahun silam saya baca kesaksian dokter pribadinya saat long march. Sang Ketua malas gosok gigi, alasannya macan juga tak pernah. Saya tak tahu apakah ujaran, bukan ajaran, dari Mao itu termasuk layak kutip untuk kompilasi.

Sepeda zaman Majapahit

Agar tak melenceng jauh, marilah kembali ke soal bacaan berupa kertas. Saya bukan kutu buku — aneh, kenapa bahasa Inggris menyebutnya bookworm? — namun saat bocah sering membaca hal yang tak perlu. Misalnya kertas bungkus, dan sesekali lembar ramalan buntut lotre (togel, toto gelap) yang terlalu dini bagi seorang bocah ingusan untuk meniliknya secara sok semiotik.

Akan tetapi dari sedikit buku yang saya baca, ada satu yang membuat saya sekian malam sulit tidur. Yaitu buku anak karya Djokolelono, tentang orang Indonesia modern saat itu yang terlempar ke masa Majapahit. Saya membayangkan dapat mengalaminya dengan membawa sepeda ke masa silam, tidak dapat mengejar kuda namun hanya dapat dikejar orang sakti mandraguna.

Saya pun pernah dianggap menipu karena buku. Menurut Karl May, orang Indian dapat memperkirakan jarak dan jumlah kuda yang akan datang dengan menempelkan telinga ke tanah.

Saya ajak tiga teman bermain untuk mencobanya di pinggir jalan demi mengenali dokar yang akan lewat. Praktik tak membuahkan hasil. Yang datang adalah seorang bapak bersepeda yang menghardik kami karena menghalangi perjalanannya.

Kertas dan layar digital saling melengkapi

Setiap orang punya imajinasi dari apa yang dibacanya, dari kertas maupun layar gawai. Dari ponsel, kita tak hanya beroleh teks berita dan cerita, serta tulisan lainnya, tetapi juga imajinasi susulan setelah bermain gim dan menonton video.

Bagi saya, kertas dan gawai itu saling melengkapi. Namun membaca di tablet tentu lebih nyaman daripada di ponsel. Apalagi menonton film.

Bacaan paling merepotkan di layar ponsel tentu buku dan naskah A4 dalam bentuk PDF. Hurufnya terlalu kecil untuk ponsel. Saya belum tahu adakah konverter gratis agar berkas menjadi e-book seukuran layar ponsel — dengan tipografi legibel seperti di Kindle, buku anak FlipHTML5, atau Wattpad — namun dengan cepat dapat menunjukkan nomor halaman versi dokumen asli untuk perujukan.

Kalau untuk komik sih tentu tidak bisa dan tidak perlu. Membaca komik harus mengikuti alur pembingkaian sang komikus.

Wedang jahe Hamsad di kota tintrim

Kini semuanya ada dalam ponsel cerdas. Orang sinis dan rewel senang meledek, apakah penggunanya ikut cerdas?

Nyatanya secara umum orang akan menenggang kita yang melihat layar ponsel dalam pertemuan, apalagi jika kita bilang permisi. Namun dulu orang membaca buku di tengah kerumunan ngobrol akan dianggap asosial.

Tentu ada pengecualian. Suatu saat, abad lalu, di Salatiga, Jateng, ada jam malam dan ronda. Cerpen Hamsad Rangkuti, Wedang Jahe, terbit di Kompas pada 1981, tak lama setelah Salatiga yang dilaporkan wartawan Julius Pour sebagai bersuasana tintrim. Seisi kota dibekap kecemasan namun tak tahu apa saja yang terjadi selain dari radio mulut.

Demi adab gaul beberapa dosen di Jalan OM (dulu Jalan A) bergabung dengan orang kampung untuk berkumpul di rumah seorang warga sesuai jadwal. Mereka membawa buku. Saat obrolan makin menjemukan lalu mereda, beberapa dosen membaca buku. Warga kampung tak tersinggung.

Salah satu pembaca buku adalah doktor teologi, rektor, yang kemudian menjadi pemred sebuah koran di Jakarta, penerus koran yang dibredel, atas permintaan pemerintah Orba. Saya lupa apakah seorang lagi, fisikawan, yang kolumnis, ada dalam regu ronda itu.

Lalu kini bagaimana nasib buku? Beberapa negeri maju mewajibkan anak SD membaca buku, bahkan menulis dengan tangan — misalnya Swedia (¬ Kompas.id, 2023). Di sini, saya dengar mulai banyak orang mengintervensi agar cucunya tak menjauhi buku, “Jangan hopa-hapé terooosss.”

Tetapi saya ngeblog di hape. Mungkin saya budak ponsel. Piyé, jal?

4 Comments

Masyhur Jumat 30 Agustus 2024 ~ 07.28 Reply

Saya beberapa tahun tinggal di pesisir timur Amerika dan jumlah buku yang saya baca per tahun naik pesat karena koleksi perpus kotanya komplit dan tiap minggu buku yang dipajang di etalase diganti, makin mengundang. Pun bisa pinjam buku elektronik rilis terbaru untuk dibaca di Kindle. Sementara terakhir coba aplikasi Perpusnas untuk pinjam buku ngga sukses, entah kenapa.

Pemilik Blog Jumat 30 Agustus 2024 ~ 09.24 Reply

Cerita menarik, Mas.
Saya beberapa kali pinjam secara daring di Perpusnas, sayang koleksi pustaka digitalnya tidak lengkap.

Junianto Kamis 29 Agustus 2024 ~ 21.40 Reply

Sudah lama-lama, bertahun-tahun, saya tidak membaca buku. Minat baca saya turun drastis, atau malah hilang. Padahal dahulu, sejak SMA saya baca banyak buku, antara lain karya Budi Darma, Nugroho Noto Susanto, Hamsad Rangkuti, Misbach Yusa Biran, dll.

Selain kehilangan minat baca, sejak beberapa waktu lalu saya pun jadi budak ponsel. Apa boleh bikin.

Pemilik Blog Kamis 29 Agustus 2024 ~ 22.56 Reply

Saya juga, karena mata lelah dan tak tahan debu buku.

Tinggalkan Balasan