Siang panas, pukul 11.40, saya lihat seorang pria sedang mengecat dinding menggunakan rol, ditunggui pria lain. Oh, rupanya dia sedang menutupi grafiti dan mural pada tembok rumah pompa polder.
Dari seberang, di teras sebuah warung yang teduh, saya mengamati. Kemudian pria yang tadi hanya memberi petunjuk itu memegang rol, menggantikan temannya. Saya tak tahu pembicaraan mereka.
Kemudian saya mendekat, berteguh sapa, setelah itu minta izin memotret pekerjaan mereka. Mereka membolehkan. Ponsel saya pun bekerja.
Grafiti dan mural liar memang mengganggu pemilik properti. Apalagi kalau tidak nyeni. Tetapi kriteria nyeni bisa memancing perdebatan. Bagi pelakunya sih nyeni, apalagi kalau dia merasa sebagai bomber tembok sekelas Banksy, sudah begitu masih meledek, “Keunggulan Banksy bukan di estetika an sich tapi konsep, manifesto, atau apalah, lalu diapresiasi kritikus seni.”
Cara untuk menyudahi debat adalah, “Tong, emang elu mau kalo rumah bokap elu gue coretin? Ayo kita kerjain bareng, gue yang beli cat!”
Pukul 12.14, dari tempat yang teduh itu, sambil minum es jeruk, saya lihat karya vandalis itu sudah tersaput cat biru, sewarna dengan tembok. Dalam cuaca panas nan membakar sekaligus menggerahkan, si pelabur telah bekerja, mungkin tanpa membayangkan perdebatan tak bermutu seperti di atas tadi.