Bau ketiak dalam pesawat jet dan jurnalisme

Lebih penting mana antara isu lingkungan jet pribadi dan bau ketiak penyewanya? Media berita akhirnya cuma menggemakan konten medsos.

▒ Lama baca 2 menit

Bau ketiak Erina Kaesang dalam pesawat jet dan jurnalisme

Dua tiga hari lalu saya tak paham ketika via WhatsApp mendapatkan tiga video anak kecil cowok hitam memperlakuan ketiaknya. Masing-masing pemerannya berbeda. Pengirimnya juga.

Saya menjadi kian heran ketika mendapati judul artikel di beberapa media membahas bau ketiak. Pasti ada sesuatu.

Memang kini era medsos

Ternyata benar, di media sosial (medsos) warganet selain mengomentari Kaesang Pangarep dan Erina Gudono pergi ke Amerika dengan pesawat jet sewaan, padahal Indonesia sedang ricuh soal bisa tidaknya Kaesang ikut pilkada, juga membahas bau ketiak Erina.

Saya akui, rujukan saya kurang lengkap karena akun kesekian yang lengkap menyoal bau ketiak itu terkunci. Saya tak dapat menyimak versi autentik.

Bagi saya, bau ketiak itu soal alami. Dalam situasi tertentu bau ketiak setiap orang akan berbau menyengat, antara lain karena bakteri. Lalu apakah bau ketiak perempuan, yang kebetulan bersama suaminya sedang menjadi sorotan, berarti layak warta untuk semua media berita?

Memang dalam praktik jurnalistik berlaku prinsip prominensia sehingga muncul adagium names make news. Bau ketiak entah siapa kalah penting dari bau ketiak pesohor. Apalagi ketika si pesohor sedang laris dicerca. Bagi khalayak, bau ketiak yang merupakan urusan privat berpeluang menjadi dosa tambahan.

Bau ketiak Erina Kaesang dalam pesawat jet dan jurnalisme

Siasat media terlembagakan

Lalu kini, ketika konten apa pun di medsos oleh sebagian orang diterima sebagai berita, bagaimana media berita yang terlembagakan memperlakukannya?

Sebelum melanjutkan ocehan, saya jelaskan dulu. Media berita terlembagakan, demikian saya menyebutnya, adalah media yang dikelola oleh perkumpulan sampai perusahaan pers, yang jelas tim redaksinya, serta nama dan alamat pos penerbit beserta kantor editorialnya, dengan maupun tanpa penanda Google Maps. Apakah terverifikasi di Dewan Pers, itu soal lain.

Bau ketiak Erina Kaesang dalam pesawat jet dan jurnalisme

Maksud saya, media terlembagakan, sekecil apa pun tim redaksinya, berbeda dari blog personal — termasuk blog pribadi dengan tata letak menyerupai situs berita.

Nah, bagaimana media berita memperlakukan konten media sosial, ada beberapa pendekatan:

  • Umumnya media berita menempatkan konten medsos sebagai ladang informasi
  • Sebagian konten menarik punya nilai berita jika diambil; artinya media berita sekadar mengamplifikasi konten medsos, padahal bisa saja pembaca isu tertentu di medsos lebih banyak dari pembaca sebuah media berita
  • Selain asal comot, masih ada media yang melakukan konfirmasi kepada pemilik akun yang kontennya menjadi berita
  • Selain mengonfirmasi, juga ada media yang meminta izin kepada pemilik akun untuk membuat tangkapan layar maupun menyematkan konten (embed)

Beda media beda cara (dan gengsi)

Bau ketiak Erina Kaesang dalam pesawat jet dan jurnalisme

Lantas dalam kasus sewa jet oleh Kaesang dan Erina, bagaimana media memperlakukan informasi tersebut?

Untuk jet, ada keragaman. Dari membuat rangkuman dengan hanya mengutip medsos maupun sampai memperkaya rujukan di luar medsos. Misalnya jenis jet, harga sewa, biaya bahan bakar, hingga emisi karbon.

Pengecualian tentu ada. Koran Kompas (Minggu, 25/8/2024) hanya membahas gaya hidup jet pribadi di pelbagai negeri, termasuk oleh Taylor Swift dan Elon Musk, tanpa merujuk kasus aktual Indonesia — ya jet Kaesang itu — sebagai cantelan berita (newspeg).

Bau ketiak Erina Kaesang dalam pesawat jet dan jurnalisme

Artinya secara eksplisit Kompas tidak menyodorkan alasan penerbitan artikel. Tidak menghadirkan konteks. Tiada hujan tiada angin kenapa tiba-tiba mengangkat topik bau ketiak? Hujan dan anginnya ada di medsos, berbeda dari versi BMKG.

Saya menduga, redaksi sengaja menjaga jarak dari heboh gibah di medsos sambil berpengandaian pembaca sudah tahu masalahnya. Namun lima tahun lagi, ketika orang menemukan artikel jet ini di koran, orang akan kehilangan konteks.

Sebenarnya artikel di koran itu sudah muncul di versi web dan aplikasi Kompas.id sehari sebelumnya (24/8/2024), pukul 19.07. Lalu hari ini, pukul 19.53, Kompas.id menampilkan video tentang kontroversi jet sewaan Kaesang itu.

Artinya berita itu adalah susulan setelah 24 jam. Sungguh rentang waktu yang terlalu panjang untuk era media daring yang mengutamakan berita sela (breaking news), terutama bagi media yang doyan aneka warta termasuk perceraian pesohor dan artis pindah agama — padahal itu ranah privat.

Saya menafsirkan, Kompas dalam rupa koran tak mau terlalu dekat dengan gibah di medsos justru saat sedang aktual, namun sebagai penyedia konten digital Kompas sadar harus terlibat. Citra koran cetak harus dijaga.

Baiklah, itu tadi soal jet. Bagaimana dengan bau ketiak? Sama. Ada media yang yang langsung mengangkut tuaian di medsos, dan ada pula yang mencoba menjaga jarak tanpa menyebut Erina, karena yakin pembaca sudah memahami konteks, namun sama-sama membahas bau ketiak.

Bau ketiak Erina Kaesang dalam pesawat jet dan jurnalisme

Ponsel adalah sang pembebas

Jadi, apa dong moral ceritanya?

Untuk orang hipokrit macam saya, membaca berita daring melalui ponsel adalah pembebas kesungkanan dalam mengonsumsi gibah cemen. Orang lain tak melihat, padahal layanan macam Google Analytics milik penerbit mencatat pola saya dan yang seselera.

Saya dulu pernah ditanya seorang kawan, perempuan pemilik perusahaan kehumasan, apakah tidak malu karena membiarkan sejumlah koran kuning dan tabloid gosip di tergeletak di meja kerja.

Saya jawab tidak, karena membaca itu menambah pengetahuan; termasuk membaca iklan baris aneh-aneh. Kalau dia ternyata malu, takut ketahuan. Tetapi dia nyaman saja membaca berita, yang disebutnya “ramutu”, di ponselnya.

Demi trafik dan iklan, pengelola media berita daring sangat paham itu. Apalagi ketika medsos menjadi raja warta.

Bau ketiak Erina Kaesang dalam pesawat jet dan jurnalisme

Tinggalkan Balasan