Inilah anomali: anggota DPR membolos sidang paripurna malah dianggap bagus. Peristiwa dua hari lalu (Kamis, 22/8/2024) telah menjadi salah satu keping dari puzzle sejarah politik Indonesia.
Sedianya hari itu sidang mengesahkan revisi UU Pilkada yang telah disetujui sehari sebelumnya. Namun hari itu berlangsung demo besar di mana-mana, termasuk di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Judul berita koran Kompas hari ini: “Suara Wakil Rakyat Berjemaah…” — tetapi versi web berbeda. Tak ada yang baru dari kebiasaan anggota parlemen bolos atau tidur, dari periode ke periode. Namun kali ini dianggap positif karena menuruti nurani, sonder Komando fraksi dan pimpinan partai. Soal TST sih: tau sama tau, bukan tahu sama tempe.
Nah, inilah yang terjadi:
- Sidang hanya dihadiri oleh 89 orang dari total 575 anggota DPR dari sembilan fraksi partai yang ada di parlemen
- Sehari sebelumnya, delapan dari sembilan fraksi partai telah bersepakat membawa rancangan undang-undang tersebut ke rapat paripurna
- Pembahasan sehari sebelumnya itu cuma berlangsung tujuh jam, termasuk cepat untuk rapat RUU
- Fraksi menenggang keputusan anggota untuk mangkir supaya kuorum tak tercapai
- Karena kuorum tak tercapai maka sidang paripurna batal, sehingga untuk Pilkada 2024 yang berlaku adalah putusan Mahkamah Konstitusi
Menjelang paragraf akhir berita panjang tersebut, Kompas menulis:
Sekali ini, ketidakhadiran mayoritas anggota DPR berdampak positif. Penundaan rapat paripurna membuat publik leluasa menyampaikan penolakannya atas revisi UU Pilkada tersebut.
Maka saya pun membatin kenapa selang sehari pikiran mayoritas bisa berubah padahal sehari sebelumnya mereka bukan mob yang dikendalikan situasi. Mereka mestinya, atau semoga, orang-orang yang berakal budi — maksud saya bernalar dan bernurani — bukan berakal bulus.
Tentu saya mencoba memahami sisi lain peristiwa ini secara hipotetis. Misalnya mereka masuk sidang semua, dan mayoritas konsisten dengan kesepakatan sehari sebelumnya, sehingga UU Pilkada berubah, keadaan bisa menjadi kaotis.
Untuk meninggalkan Kompleks Parlemen, bahkan misalnya telah menginap pun, para legislator pasti akan diamankan secara ekstrakuat, artinya keras, oleh aparat dan akan jatuh korban (jiwa) terutama dari kalangan demonstran.
Ketika suhu dan tensi demo di mana-mana terus menanjak, hasilnya adalah kerusuhan; anarki karena negara absen untuk sesaat.
Buah simalakama dong? Nggak akan menjadi begitu kalau sejak awal para politikus anggota badan pembuat UU paham hierarki hukum: yang berhak menimbang dan memutuskan perkara konstitusional itu MK. Wewenang Mahkamah Agung hanya menguji aturan di bawah UU.
Salah kita, rakyat, kenapa sampai punya legislator sekelas itu.
Semoga para trondholo témbré semprul sontoloyo trèmbèlané itu tak membela diri, “Salah kalian kenapa nyoblos kami secara langsung maupun melalui partai kami.”