Warung, di mana-mana warung

Di lingkungan menengah ke bawah orang harus bersiasat mengatur arus kas, belanja seperlunya. Di kelompok atasnya adu troli, belanja impulsif.

▒ Lama baca 2 menit

Warung di kampung Bulaktinggi, Pondokmelati, Kobek, Jabar

Anak kecil abad lalu ketika berdeklamasi dapat mengatakan, “Di sini gunung, di sana gunung, di mana-mana gunung.” Anak kecil sekarang, yang tinggal di kampung padat, mungkin akan mengganti kata “gunung” menjadi “warung”.

Jika Anda akrab dengan perkampungan padat pasti sepakat dengan saya: banyak warung, di mana-mana warung.

Di kompleks menengah ke bawah juga banyak warung, sebagian berumur pendek namun pintu gulungnya masih bertahan. Satu warung mati, lalu muncul pengganti.

Warung di kampung Bulaktinggi, Pondokmelati, Kobek, Jabar

Tadi sore, sebelum hingga setelah magrib, saya berjalan-jalan di area saya. Di sebuah kampung, dalam seruas jalan sepanjang sekira seratus meter, ada lima warung. Jualannya sama: kebutuhan dapur, camilan, minuman, dan rokok.

Di pertigaan, saya belok kanan. Di gang itu, sepanjang seratus meter, ada empat warung dengan jualan seperti saya sebutkan tadi.

Pasti setiap warung punya pembeli. Jika tidak, warungnya akan jera, lalu tutup. Maka sambil melangkah tanpa bergegas, saya pun berpikir mengapa di permukaan padat kelas menengah ke bawah banyak warung?

Warung di Chandra Baru, Jatirahayu, Pondokmelati, Kobek

Jawaban paling mudah adalah karena penjual dan pembeli saling membutuhkan. Di lingkungan menengah ke atas, selain orangnya lebih berduit, ada regulasi ketat dari pemkot maupun pengembang untuk tak mengubah peruntukan bangunan sebagai rumah tinggal.

Saya menduga, di lingkungan menengah ke bawah mayoritas orang harus bersiasat mengatur arus kas. Berbelanja stok untuk sebulan akan mengganggu kas. Sabun cuci piring, detergen, sampai gula pasir dan kopi dibeli ketika sudah habis. Bukankah warungnya ada di dekat rumah?

Misalnya pun kas bukan masalah, membeli banyak bahan kebutuhan untuk stok itu merepotkan penyimpanan. Rumah kecil dengan perabot penyimpanan beli jadi, bukan tailor made, sering kali tak menghasilkan tata ruang optimal seperti interior rumah mungil modern di Instagram dan Pinterest.

Warung di Chandra Baru, Jatirahayu, Pondokmelati, Kobek

Lalu, selain berasumsi kaum berbanyak belanja punya sarana penyimpanan yang efisien — tak mungkin ada makanan maupun bahan siap olah yang tahu-tahu sudah kedaluwarsa — apakah pola belanja mereka selektif?

Kompas (Minggu, 18/8/2024) punya laporan bagus bertajuk “Pudarnya Adu Troli dan ‘Impulsive Buying’ di Ritel Modern” . Intinya: kelas menengah Indonesia kini lebih selektif.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan, dalam satu dekade terakhir masyarakat mulai meninggalkan kebiasaan adu troli. Dahulu, rerata keluarga masuk supermarket mengambil 2-4 troli.

Setiap anggota keluarga, minimal ayah dan ibu, berkeliling sendiri-sendiri mencari kebutuhan masing-masing. Setelah itu, mereka berkumpul di kasir atau area dekat kasir untuk membayar aneka belanjaan.

“Kami kerap menyebutnya sebagai silaturahmi troli keluarga,” kata Roy.

Kini setelah melalui pandemi, ada kemudahan berbelanja daring, namun juga karena ekonomi melambat, maka berbelanja secara impulsif, asal ambil, pun berkurang. Sebelumnya, menurut Roy, 60 persen belanjaan tak ada dalam daftar belanja.

Nyatanya, kata Roy, “Impulsive buying inilah yang dahulu menopang kinerja ritel.”

7 Comments

Junianto Kamis 22 Agustus 2024 ~ 22.06 Reply

Kalau di lingkungan saya : wedangan (angkringan) bertambah sangat banyak, toko Madura bertambah banyak, dan tempat kuliner bertambah sangat banyak. Kuliner dengan menu andalan selat Solo (yang ditekuni istri saya sejak 1987/37 tahun silam) kini pun menjamur.

Khusus toko Madura, sejauh saya tahu, keberadaannya di Solo belakangan dibanding, misalnya, Yogya.

Pemilik Blog Jumat 23 Agustus 2024 ~ 00.34 Reply

Sebenarnya ini perkembangan menarik. Layak bedah. Bisa jadi skripsi.

BTW salah satu ciri warung Madura adalah etalase beras berupa kotak kaca.

Ciri lainnya, mereka buka sampai larut.

Junianto Jumat 23 Agustus 2024 ~ 08.38 Reply

Di Solo mereka buka 24 jam. Ciri-ciri lain, jual bensin eceran/gendulan.

Pemilik Blog Sabtu 24 Agustus 2024 ~ 00.31

Di mana-mana gitu. Misalnya pos masih laku, pasti mereka juga jual benda pos.

Tempo hari pemerintah mau melarang warung buka 24 jam yang duluan protes ya warung Madura. Oreng arudam itu gigih, ulet 👍

Pemilik Blog Jumat 23 Agustus 2024 ~ 00.35 Reply

Wah kedai Mbak Lies sudah lama ya. Sejak zaman gadis mungkin nggih 🙏

Junianto Jumat 23 Agustus 2024 ~ 08.42 Reply

Betul, Paman, sejak zaman gadis. Lulus SMA, karena dia merasa enggak pinter, dia memilih membuka warung makan daripada berkuliah. Awalnya bukan warung selat Solo, pokoknya warung makan yang harga menunya sangat murah, diurusi sendirian : kulakan sendiri, ngedoli sendiri, isah-isah sendiri. Bisa bayangkan, to, alangkah kecilnya warung Mbak Lies saat itu….

Pemilik Blog Sabtu 24 Agustus 2024 ~ 00.32

👍👍👍👍🌹
Lalu seorang tetangga jatuh hati… 🙏💗

Tinggalkan Balasan