Pertanyaan dalam judul itu pikiran orang awam. Dalam hal skandal pencatutan data kependudukan perorangan, untuk kepentingan pilkada, ahli hukum yang dapat menjelaskan apakah ancaman hukumannya sudah adil. Selain ahli hukum tentu para anggota DPR karena mereka adalah pembentuk UU, dari mana pun datangnya inisiatif RUU.
Kasus yang sedang mengemuka adalah di DKI Jakarta. Paslon independen cagub Dharma Pongrekun – Kun Wardana Abyoto diduga mencatut NIK warga padahal tak mendukung mereka.
Menurut Pasal 185 A UU No. 10 Tahun 2016, jika terbukti melakukan pelanggaran manipulasi daftar dukungan, bakal calon perseorangan terancam penjara 36 bulan — 72 bulan, plus denda Rp36 juta — Rp 72 juta.
Lama kurungan akan dikorting oleh remisi dan lainnya, apalagi kalau hukuman minimum. Denda maksimum itu? Kalau ada bohir bukan masalah. Lebih murah dari mobil listrik termurah.
Adapun hukuman untuk penyelenggara pemilihan, yakni orang KPU dan Bawaslu, kalau cuma 5—8 tahun terungku dan denda Rp60—Rp96 juta itu adil atau tidak mungkin tergantung pangkat dan jabatannya.
Pencatutan ini masalah serius. Anda tidak mendukung pencalonan si Anu tetapi berstatus mendukung dia, apalagi jika di TPS Anda ternyata mendukung lawannya. Relakah Anda?
Lain waktu untuk urusan di luar pilkada, Anda berstatus sebagai pemilik mobil Porsche Macan seharga Rp2,5 miliar, padahal Anda tak kenal pemilik asli, lalu menjadi masalah ketika Anda membayar pajak perorangan tahunan.
Atau sekalian Anda jadi pemilik rekening miliaran rupiah di bank tanpa pernah menyadarinya, karena KTP Anda dicatut. Rekening tersebut untuk mencuci duit hasil kejahatan. Anda mau?
¬ Infografik: Kompas