Gampang diucapkan. Mudah ditanyakan. Beda orang beda jawaban. Ada yang menanggapi panjang, ada yang angkat bahu sambil tersenyum. Soal identitas Indonesia.
Soal itu sama membingungkannya dengan kebudayaan Indonesia, bahwa polemiknya sudah berlangsung sejak 1930-an, kalau merujuk pikiran Sutan Takdir Alisjahbana, tak berarti orang boleh berpikir lain.
Bahwa negara telah merumuskan pengertian kebudayaan dan kebudayaan nasional Indonesia, dalam UU No. 5 Tahun 2017
Tentang Pemajuan Kebudayaan, tentu baik adanya. Ada rujukan, begitulah.
Adapun identitas Indonesia, bagi saya abstrak. Titian untuk memahaminya, bagi saya, melalui apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Ehm, hal ini pun abstrak. Karena persepsi atas atas pengindraan saya bisa berbeda dari orang lain. Lamunan kurang kerjaan itu muncul saat saya mendapati kotak lapis legit bergambar wayang kulit Arjuna.
Wayang, sebagai adopsi terhadap khazanah India kuno, adalah salah satu kepingan wajah kebudayaan Indonesia. Artinya ada kepingan lain yang bukan wayang, padahal kebetulan wayang kerap diidentifikasi sebagai Jawa.
Maka dalam urusan visual, kita tidak dapat hanya menetapkan batik dan wayang sebagai wakil potret kebudayaan Indonesia. Untunglah logo IKN tidak menjawa.
Maka untuk gampangnya, saya anggap apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan adalah identitas Indonesia. Kalau sekarang orang bilingual Indonesia dan Inggris, hal itu cuma menggantikan gaya lama bahasa Indonesia dan Belanda.
Bahwa selama 1970-an hingga awal 2000 tak hanya amtenar yang bersetelan safari halus — bukan safari khaki, celananya berlanggam kargo untuk lapangan — dengan potongan lengan baju seperti jas, bahkan untuk lengan pendek, bagi saya itu pun termasuk identitas Indonesia. Coba Anda tengok arsip foto dan film lama.
Panjang umur, Indonesia.