Ada yang menarik dalam artikel Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri RI (2001-2009), tentang gagasan semantik naskah Proklamasi 1945: gambar mesin tik. Saya tertarik justru karena sudah sering melihat gambar mesin tik untuk ilustrasi.
Kebetulan, jika menyangkut Kompas, koran itu masih menakzimkan ilustrasi hasil kerja tangan. Ilustrasi cerpen edisi Minggu dikerjakan oleh perupa, bisa lukisan dengan media apa saja.
Memang sih, ilustrasi dengan komputer juga dikerjakan oleh tangan, kalau dengan bantuan AI bisa saja prompt diucapkan oleh mulut. Hand drawing adalah dasar kerja seni rupa. Tata letak Kompas, sebagai media cetak, juga bisa luwes mengatur wajah halaman berisi teks dan gambar namun tetap terikat pada pakem dan grid.
Nah, soal ketertarikan saya kepada gambar mesin tik itu karena saya membatin satu hal. Sampai kapan ya gambar mesin tik, berupa ilustrasi goresan tangan, ikon digital, sampai foto maupun karya visual lain, menjadi lambang seputar pemikiran dan penulisan?
Generasi Z (kelahiran 1997—2012) masih dapat menerima gambar mesin tik. Padahal dalam kesehariannya mereka tak melihat alat itu berikut suara bisingnya, dengan denting penanda batas ruang pengetikan margin kanan kertas.
Tetapi bagaimana dengan generasi Alfa (2013)? Memang, komik sampai film tentang masa lampau masih menampilkan mesin tik. Namun generasi ini setelah menjadi kreator visual mungkin tak tertarik kepada idiom mesin tik.
Dugaan saya yang bimbang, dengan kata “mungkin”, memang lemah. Namun bertolak dari ikon pena bulu, yang akhirnya jarang muncul karena terasa asing, padahal replikanya masih dijual — untuk lucu-lucuan, kata milenial (1981—1996) — maka mesin tik pun akan begitu. Akan dienyahkan. Padahal kibor nirkabel untuk ponsel dan tablet ada yang mirip mesin tik — juga untuk lucu-lucuan.
Setelah pena bulu, gambar mata pena masih menjadi ikon namun kesan saya makin menipis. Para kreator tak mengalami bekerja dengan pena dan tinta bak maupun pulpen. Ada pengecualian sih, yaitu untuk kaligrafer.
Jika menyangkut pena, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berlogo burung merpati dan pena. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) berlogo obor dan pena dipagari segi lima. Adapun Serikat Penerbit Surat kabar (SPS), yang pada 2011 berganti nama Serikat Perusahaan Pers, masih berlogo pena bulu. Sedangkan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) berlogo tiga panah. Logo Dewan Pers? Empat mata panah bertemu sesamanya, juga empat, sehingga membentuk delapan penjuru mata angin.
Meskipun demikian ikon telepon kabel saya perkirakan masih akan laku sampai sepuluh tahun mendatang untuk penanda menu “hubungi kami” pada layar gawai maupun media lain termasuk bilbor. Bukankah logo WhatsApp berupa telepon dalam balon percakapan? Sedangkan Telegram, yang menggunakan nama benda arkais, memanfaatkan gambar pesawat origami.
¬ Gambar pena bulu: Ashcroft.ca
¬ Pemutakhiran 19/8/2024 06.35: Gambar halaman Kompas, Jumat 16 Agustus 2024, yang menampilkan arsip artikel Komaruddin Hidayat edisi 16 Agustus 2023.