Banyak cara untuk menghargai pembawa rezeki. Jika menyangkut tukang ojek, orang bisa bilang banyak cara untuk memanjakan mereka. Misalnya warteg yang menyebut diri buka 24 jam namun saat saya lewat di depannya dia sedang tutup ini.
Di area saya ada sebuah rumah penjual aneka bubur, kecuali bubur ayam. Yang banyak membeli adalah tukang ojek. Kata tetangganya, komisi buat driver lumayan, dan si penjual memang mengutamakan pesan antar, karena menyasar orang mager. Bagi umumnya tetangga, harga bubur di sana agak mahal.
Nah, di depan teras selalu ada meja berisi panci bubur kacang hijau dan teh serta kopi hangat untuk tukang ojek. Swalayan. Gratis.
Layanan khusus juga diberikan oleh rumah makan untuk sopir travel dan bus AKAP serta bus wisata karena mereka membawa pengudap. Ada ruang khusus pengemudi. Makan dan minum bebas. Kaki boleh naik dengan duduk mencangkung. Ada yang dapat rokok gratis pula — tetapi entah kini setelah rokok naik harga.
Ada juga sih sopir, atau pengantar tamu, yang proaktif minta komisi kepada toko cendera mata, kedai, dan toko oleh-oleh. Nah, yang ini bisa mengesalkan, tak hanya bagi pemilik usaha.
Perilaku mereka dapat mengesalkan pengantar tamu nonbisnis, misalnya saat mendampingi rombongan kecil orang asing teman keluarganya, lalu pemilik usaha atau pramuniaga membisiki, “Sabar ya Mas, nanti setelah semua transaksi selesai.” Orang lokal dalam sebuah rombongan bule berarti pemandu bayaran yang mendambakan persenan.