Empat detik Veddriq Leonardo dan jurnalisme olahraga

Dalam cara kuno yang disebut berita dalam teks, jalan abadi bernama penulisan selalu ditantang dan diuji.

▒ Lama baca 3 menit

4 detik Veddriq Leonardo dan jurnalisme olahraga

Tadi malam dini hari, kalender sudah memasuki tanggal 9 Agustus 2024, saya terkesan oleh cara koran Kompas melaporkan kemenangan pemanjat tebing Indonesia Veddriq Leonardo dalam Olimpiade Paris 2024. Sehalaman penuh. Dengan foto kuat karya Jonathan Nackstran dari AFP.

Foto kuat itu memberi keleluasaan olah visual berita hemat kata. Secukupnya. Seperlunya. Judul enam kata. Teras warta tujuh belas kata. Kapsi dua puluh empat kata dalam tipografi standar di pojok kanan bawah wajah koran yang menyerupai poster.

4 detik Veddriq Leonardo dan jurnalisme olahraga

Tidak, tidak. Saya tidak sedang membahas desain grafis. Memang saya pernah menangani majalah yang beberapa bagian isinya mengutamakan visual, rapatnya seperti merancang iklan, dengan sketsa dan story board, jatah teks sesuai sisa ruang, jumlah karakter dihitung sejak awal. Di sini saya membahas kemewahan dalam pekerjaan jurnalistik.

Yang saya maksudkan kemewahan adalah berita olahraga. Peristiwa dan fakta tidak dikemas kering seperti laporan cuaca dan flutuasi harian harga sembako yang semuanya berbasis data.

4 detik Veddriq Leonardo dan jurnalisme olahraga

Berita olahraga yang hidup dan berdaging berisi drama berlandaskan hal nyata, namun dengan otoritas editorialnya yang diamini pembaca, seorang jurnalis olahraga boleh beropini dengan pengandaian, bahkan menghakimi.

Jika menyangkut atlet nasional melawan atlet manca, dia boleh berpihak. Mungkin media lokal dalam melaporkan pertandingan sepak bola tim sendiri melawan tim luar juga boleh demikian.

4 detik Veddriq Leonardo dan jurnalisme olahraga

Seperti komentator pertandingan, sang pewarta olahraga leluasa menyayangkan suatu hal yang tak sesuai asa diri dan medianya — atau sebaliknya: mensyukuri hal yang sesuai harapan. Dalam berita politik, misalnya Pilpres 2024, tak mungkin dalam berita tersebutkan “sayang sekali Anies kalah”, “rasakan wahai Ganjar, tuanmu cuma 16 persen suara”, atau “Celaka, Prabowo yang menang.”

Tanpa mengutip omongan narasumber, pernyataan fiktif ihwal hasil pilpres tadi sulit disebut jurnalisme yang jernih. Lebih dekat ke gaya media partisan sebagai corong partai. Kalau muncul dalam opini sih boleh.

Bukankah dalam berita seni dan budaya juga bebas? Apa pun penjelasan tentang arti maupun cakupan budaya dan kebudayaan, berita dan resensi itu berbeda. Dalam resensi yang juga memasukkan unsur berita, penghakiman itu lazim, meledek maupun memuji juga bukan soal. Itu berlaku untuk aneka seni.

Kembali ke berita olahraga, pers Indonesia modern mencatat tonggak dari jurnalisme majalah Tempo, justru pada edisi perkenalan yang dibagikan gratis, Maret 1971. Harap diingat, EYD berlaku mulai Agustus 1972.

Jurnalisme olahraga ala Tempo edisi perkenalan

Dengan laporan utama Tragedi Minarni dan Kongres PBSI, judul dalam halaman dalam adalah “Bunyi ‘Kraak’ dalam Tragedi Minarni”. Tempo di kemudian hari mengakui, judul itu “tak lazim di awal 1970-an” (Edisi khusus, Kecap Dapur, 1/2/1986).

Penggalan isi laporan:

“[…] Bagi mereka jang berada sedikit djauh dari pemain single puteri Indonesia untuk Asian Games keenam itu, djatuhnja Minarni didepan net badminton pastilah diduga sebagai biasa. Sebagian suporter Indonesia, djustru masih bertepuk ketika ia mulai merintih dan menoleh pada Sumarsono dan Willy Budiman, pengasuh-pengasuh PBSI.”

Lalu…

“Dan lebih dari 3.000 penonton mendadak terdiam, ketika dalam rintihannja ia mengulurkan tangan memohon pertolongan. Beberapa wartawan foto mulai menjerbu lapangan dimana Minarni dihadapkan dengan Hiroe Yuki, djuara All England 1969. Dan kelapangan itu pula masuklah Sumarsono, Willy dan masseur Sutrisno.”

Laporan yang hidup, berbasis teks, setelah peristiwa berlalu, dapat menggosok imajinasi pembaca. Saat itu pilihan pelantar atau platform media masih terbatas, hanya ada media cetak, radio, dan televisi dengan karakteristik berbeda.

Kini dalam era multiplatform, masih adakah peluang memainkan teks dalam berita? Masih. Dan lebih kaya. Termasuk langgam tajuk “begini reaksi” dan “segini harta” agar nasib berita tak menjadi tangkapan layar lalu orang tak perlu membaca isi.

Tiga tahun lalu ramai warganet mengkritik gaya berita olahraga Viva, oleh jurnalis yang sama, karena dianggap memproyeksikan libido diri:

Evi Mariani, pendiri dan pemimpin umum Project Multatuli, menyodorkan pengingat bahwa di media banyak “buruh-buruh konten yg prestasinya diukur dari seberapa banyak berita dia dibaca menurut Google Analytics”.

Baiklah. Mari menengok ke arah saya. Ya, saya pernah bekerja di media. Namun saya tidak dapat dan belum pernah membuat berita olahraga yang memikat karena saya tak paham. Padahal wartawan yang lengkap itu harus kenyang meliput olahraga, berita kota termasuk kriminalitas, ekbis, hukum, seni, dan pemerintahan serta politik.

Saya tidak lengkap. Membaca berita olahraga pun sepintas. Sebagai pria saya adalah orang yang gagal secara sosial karena tidak dapat diajak memperbincangkan sepak bola, apalagi nonton bareng dan bertaruh.

Di rumah, istri saya kerap menonton pertandingan voli di layar TV, bukan dari ESPN melainkan arsip YouTube, kadang melenguh kadang menjerit, padahal istri saya tidak bisa voli. Saya paling lama hanya menemani sepuluh menit.

Olahraga dan berita rutin olahraga jauh dari dunia saya namun saat mendapati tulisan menarik kadang saya baca. Justru karena saya tak dapat menuliskannya.

¬ Sematan dari X (Twitter) belum seizin pemilik akun ¬ Sampul Tempo: Catatan Nusantara

Tinggalkan Balasan