Rp4.000/malam, tarif inap pondok boro di tengah kota

Berapa kota yang masih memiliki pondok boro, penginapan murah untuk perantau? Di Semarang masih ada.

▒ Lama baca < 1 menit

Rp4.000/malam, tarif inap di pondok boro, Sekarang, Jateng

Tarif menginap per malam di bangunan kolonial bekas gudang ini Rp4.000, semua tamu tidur bersama dalam amben panjang. Kalau bayar bulanan, dalam bilik 2 x 2 meter persegi, tarifnya Rp120.000.

Nyatanya Rusmin (50), pria pengasong asal Kebumen, Jateng, itu sudah 28 tahun menginap di pondok boro, yang berlokasi di tengah Kota Semarang. Saat pertama kali ia masuk, tarif inap pondok pada 1996 masih Rp300/malam.

Rusmin adalah orang keempat dalam keluarganya yang menginap di pondok untuk perantau itu. Orang pertama adalah kakeknya, seorang kuli panggul, masuk sekitar 1945.

Kemudian si kakek meninggal, anaknya meneruskan menginap sekalian bekerja di pondok. Setelah si anak meninggal, anak lelakinya yang pengasong meneruskan inap. Lalu ia meninggal, dan adiknyalah, si Rusmin itu, yang menggantikan.

Liputan Kompas (4/8/2024, daring; 5/8/2024, koran cetak) tentang pondok boro telah menghidupkan kata yang sudah puluhan tahan mengisi lapis bawah kerak ingatan dalam benak saya. Istilah pondok boro pertama kali saya dengar dari teman SMP saya di Salatiga, Jateng, Didik Iswantoro.

Saya tak paham artinya. Lalu Didik menjelaskan itu penginapan murah seadanya, serupa gubuk, di belakang Pasar Salatiga, untuk pengamen dari luar kota. Setelah membaca Kompas, saya menjadi lebih paham pondok boro.

Rp4.000/malam, tarif inap di pondok boro, Sekarang, Jateng

Rusmin berpenghasilan Rp3 juta—Rp4 juta per bulan. Kalau sedang ada keramaian, ia bisa beroleh Rp6 juta dalam sehari. Di kampung asal, ia dapat membangun rumah dan membeli sawah seribu meter persegi. Ia pun telah mengirimkan kedua anaknya ke sekolah kejuruan hingga tamat. Seminggu sekali ia pulang ke Kebumen.

Rp4.000/malam, tarif inap di pondok boro, Sekarang, Jateng

Di pondok boro itu ada seratus penginap. Semuanya laki-laki, bekerja sebagai buruh dan pengasong. Setiap penginap baru sudah dikenal baik oleh penginap lama. Orang dari luar sirkel tidak bisa masuk. Sejauh ini tak pernah ada penginap kehilangan barang.

Penginap tertua di sana bukanlah Rusmin melainkan Kalijan (73), pengasong asal Kebumen, yang menginap sejak 1973. Keluarganya meminta Kalijan berhenti bekerja, kembali ke rumah.

Namun ia menolak. Alasannya, “Daripada di rumah tidak melakukan apa-apa, badan saya malah sakit-sakit semua. Nanti cepat pikun.”

6 Comments

junianto Selasa 6 Agustus 2024 ~ 22.35 Reply

Kalau sedang ada keramaian, Rusmin bisa mendapat Rp 6 juta/hari. Gede banget, Paman?

Pemilik Blog Selasa 6 Agustus 2024 ~ 23.26 Reply

Tadi sampai saya baca berulang kali. Saya akhirnya berasumsi itu benar krn di media cetak ada kontrol setidaknya di kepala desk dan kemudian editor bahasa.

Junianto Rabu 7 Agustus 2024 ~ 14.18 Reply

Kalau saya menduga ada kesalahan. Biasanya berpenghasilan Rp 3 juta- Rp 4 juta per bulan. Kalau ada keramaian Rp 6 juta per hari. Saya menduga, maksudnya Rp 6 juta per bulan, yang berarti kalau ada keramaian penghasilannya meningkat hingga dua kali. Kalau penghasilan Rp 6 juta per hari itu guedhe, lho, Paman.

Pemilik Blog Kamis 8 Agustus 2024 ~ 23.20

🙏Nggih 😇

Junianto Rabu 7 Agustus 2024 ~ 14.18 Reply

Kalau saya menduga ada kesalahan. Biasanya berpenghasilan Rp 3 juta- Rp 4 juta per bulan. Kalau ada keramaian Rp 6 juta per hari. Saya menduga, maksudnya Rp 6 juta per bulan, yang berarti kalau ada keramaian penghasilannya meningkat hingga dua kali. Kalau penghasilan Rp 6 juta per hari itu guedhe, lho, Paman.

Pemilik Blog Rabu 7 Agustus 2024 ~ 19.25

Lha itu dia 😇

Tinggalkan Balasan