“Kapucino panas sama kroasong,” kata saya, menjawab pertanyaan seorang teman yang akan memesankan ganjal pagi ke meja depan sebelah kasir sebuah kedai kopi.
Kawan yang seorang pemred dan penulis itu tertawa mendengar saya menyebut “kroasong” untuk croissant. Tetapi dia tak tertawa saat saya menyebut kapucino karena di telinga sama saja dengan cappuccino.
Kawan saya menyoal kenapa cara melafalkan saya seperti itu. Lalu saya ralat, “Kalo menurut KBBI ya kroisan.” Teman saya satunya, seorang penulis, editor, YouTuber, dan penerbit, pun tertawa kecil.
Baiklah saya akui, saya ini nanggung, sejak mengenal kata croissant cara saya melafalkan sok Prancis padahal saya tidak bisa berbahasa Parangakik. Hal serupa berlaku untuk lingerie, yang saya lafalkan “langshêré”. Padahal KBBI sudah menyerapnya sebagai lema: lingeri. Artinya kita baca sebagaimana tertulis.
Ingatan tentang tawa teman saya itu muncul saat saya melihat kroisan — artinya bulan sabit — di minimarket. Sebetulnya saya juga tertawa dalam hati, karena teman saya melafalkan ballet sebagai “balei”, mungkin karena istrinya penari dan putri mereka pebalet. Saya sejak kecil melafalkannya sebagai balet, padahal belum kenal KUBI maupun KBBI.
Dalam perkara pelafalan nama asing, termasuk abreviasi dan angka, kita memang menjadi repot sendiri ketika mempersoalkannya. Membaca AI, apa yang Anda ucapkan: “é-ai” atau “a-i”? Menjumpai teks 360 sebagai atribut produk, Anda akan membacanya sebagai “three sixty” atau “tiga enam puluh” ?
Setiap orang punya rasa kenyamanan masing-masing dalam berbahasa. Saya enteng saja menyebut “BMW eks satu”, “BMW eks tiga”, tetapi “BMW eks faiv” untuk X5 karena sejak awal mengenal seri itu saya menyebutnya begitu, terpengaruh orang lain.
Cara kita menyebut sesuatu pertama kali, karena merujuk orang lain, rupanya berpengaruh hingga usia jauh.