Sejak awal aku merasa lebay, berlebihan, ketika berdiri di depan kaca toko dengan lamunan mengambang sambil melihat roti. Ya, roti di balik kaca.
Aku sadar yang aku lamunkan berlebihan, padahal dalam kenyataan aku menduga tak terjadi hal macam ini. Memangnya ada orang kelaparan, tiada uang, lalu mendekatkan wajah, hampir menempel, ke kaca toko karena di balik kaca ada roti?
Kaca itu hanya jendela besar. Aku tak dapat menyebutnya etalase. Rak dan isinya di belakang kaca, dari arah luar, tampak memunggungi pelataran dan jalan.
Roti. Lapar. Uang. Dalam kenyataan aku andaikan bahkan kere pun sungkan mendekat kaca yang hanya jendela maupun terlebih etalase roti.
Tentang makanan dan rasa lapar saat melihatnya, latar peristiwa tak harus di toko resik dalam deretan ruko.
Misalnya seseorang tinggal di perkampungan padat pun, dalam keadaan kenyang maupun lapar juga melihat roti di warung tetangga. Tak hanya roti, kantong kemasan camilan sebangsa kacang dan keripik pun digantungkan di warung. Tak ada cegluk berlebihan apalagi jika seseorang sudah dewasa.
Tadi aku menanya diri: “Memangnya ada orang kelaparan, tiada uang, lalu mendekatkan wajah, hampir menempel, ke kaca toko karena di balik kaca ada roti?”
Ada tentu. Namun sedikit. Keinginan kuat hanya terjadi jika orang dewasa dalam keadaan bokek kering harus membelikan roti untuk anaknya.
Ehm, hal barusan yang aku bayangkan itu seperti penggalan adegan dalam cerpen dan film — atau dalam jurnalisme sok sastrawi yang mengandalkan ketebalan opini dalam tuturan memikat, bukan fakta. Ada dramatisasi karena impresi.
Lalu dari mana lamunan tentang roti di mata orang tongpes muncul saat aku berdiri di depan kaca toko? Mungkin karena jebakan visual saat aku menatap layar ponsel untuk memotret, tanpa tahu fotonya akan aku jadikan cerita apa.
Atau, bisa jadi karena penggalan kisah diri masa kecil, di sebuah kota madya ciut berisi sembilan kelurahan dan satu kecamatan. Saat lewat di depan Toko Dua Dua, aku membayangkan dipersilakan pemilik toko mengambil cokelat mana pun yang aku inginkan setiap kali aku datang.
Bahkan aku lebih dari sekali membayangkan dunia kiamat, semua orang mati membeku, yang hidup hanya aku, maka kue dan cokelat — seingatku saat itu toko belum menjual es krim — akan ambil dengan sabar setiap kali aku menginginkan karena semua dalam kekuasaanku.
Silakan tertawa, itu lamunan bocah delapan tahun. Naif, sederhana. Padahal keluargaku meskipun bukan orang kaya bukanlah kesrakat atau sèkèng pol-polan.
Endapan lamunan masa kecil, padahal tak berlangsung tahunan, rupanya menjadi kerak di benak dan hati. Kemudian di depan kaca toko kerak itu menampak karena terkuak.