Jangan parkir di depan rumah saya

Masalah klise klasik: keterbatasan ruang parkir mobil. Negara boleh absen, urusan diselesaikan oleh proses sosial.

▒ Lama baca < 1 menit

Rambu larangan parkir di pintu gerbang warga, Jalan Raya Pondokgede, Cipayung, Jaktim

Pesan berisi larangan di depan sebuah rumah sebelah warung gudeg ini jelas. Bahkan mungkin Anda pun memasang yang serupa di pintu halaman agar orang lain tak seenaknya parkir di sana. Tetapi berapa banyak orang yang menghargai hak kita, lantas memarkir mobil sonder permisi?

Saya pernah berkantor di sebuah titik di Kabayoran Baru, Jaksel, yang bertetangga dengan sebuah SMA swasta favorit. Mobil yang dibawa murid maupun mobil antar jemput dengan sopir pribadi memenuhi jalan sekitar sekolah, sampai masuk ke jalan-jalan kecil. Kantor saya di salah satu jalan kecil di sana.

Sopir-sopir itu, apalagi kalau menjemput dengan mobil berpelat nomor polisi maupun militer, dengan pede menyingkirkan tegakan penghalang, berupa ember cat diisi cor semen yang ditancapi tiang berpapan, berisi larangan parkir di depan pagar dan gerbang, sebagai pengganti kerucut atau cone.

Alasan mereka sama: “Siapa yang bikin aturan, emangnya berhak?” Kalau dijawab itu kesepakatan warga RT, mereka cuma mendengus.

Ada lagi dalih sakti, “Halah, dulu-dulu juga boleh, nggak masalah. Napa seorang nggak toleran?”

Ehm, bagi orang yang merasa berkuasa, apa pun posisi dan jabatannya, toleransi itu sepihak, bukan resiprokal.

Satu lagi ciri stereotipikal sopir pribadi ketika memarkir mobil di tempat terbuka: menyalakan mesin supaya dapat menikmati embusan sejuk AC sambil rebahan menikmati musik.

Di lapangan parkir Citos, Jaksel, hal itu sering terlihat. Bagi mereka, polusi harus diakrabi. Ini serupa kebiasaan sopir bus besar carteran: saat parkir, mesin tetap hidup, agar AC terus bekerja, sehingga setelah penumpang naik tak kegerahan.

Ada ciri lain para sopir penjemput anak sekolah? Bagi para sopir, lebih baik ribut dengan warga daripada dengan anak majikan. Padahal para tuan dan nona muda majikan itu bisa keluar dari gerbang dua jam bahkan lebih setelah kelas selesai.

Baiklah, mungkin ada pelajaran tambahan atau rapat kegiatan ekstra. Tetapi kenapa tak meminta sopir datang mendekati jam anak-anak itu selesai?

Saya menduga jawaban sopir dan ortu anak-anak itu sama: lebih baik menunggu anak daripada putra putri bos telat dijemput. Soal parkir mengganggu warga, apalagi dengan mesin dibiarkan hidup, tak usah dibahas.

Apa sih pangkal soal dari masalah parkir? Jumlah mobil terus bertambah, namun ruang parkir tidak. Lantas penyelesaian masalah bergantung pada proses sosial. Peran negara boleh absen.

2 Comments

Junianto Selasa 6 Agustus 2024 ~ 10.23 Reply

Banyak tetangga saya punya mobil tapi tidak punya garasi. Mereka memarkir mobil di pinggir jalan depan rumah saya. Satu mobil, tiap hari diparkir di depan pintu pagar sebuah rumah yang ditempeli tulisan dijual. Belakangan, pemilik rumah menempelkan tulisan tambahan : jangan parkir di depan pintu, rumah ini masih ada penghuninya.

Pemilik Blog Selasa 6 Agustus 2024 ~ 16.56 Reply

Wah, tega nian. Bisa diposkan di blog itu Lik Jun 😇🙏

Tinggalkan Balasan