Agustus telah tiba. Penjual bendera menghela gerobak, berkeliling menjajakan Merah Putih aneka ukuran. Dia juga membawa galah bambu sepanjang tiga meter, kalau sudah ditegakkan sebutannya menjadi setinggi tiga meter, bercat merah dan putih untuk tiang bendera.
Harga sebatang galah Rp20.000. Hampir semua pembeli tak bertanya dari mana para penjual, tepatnya pembuat tiang bendera, mendapatkan bambu berdiameter kecil. Di kota, dalam radius lima kilometer dari rumah, belum tentu ada kebun bambu tebang.
Bagi pembeli tiang, asal muasal bambu pun tak penting. Perjalanan kehidupan masyarakat dan ekonomi pasar membuat orang berjarak dengan proses, dari hulu ke muara perdagangan teramat jauh. Konsumen hanya tahu yang penting barang yang mereka butuhkan ada di depan mata, harganya bersahabat, bukan berseteru.
Lalu dari mana datangnya bendera, pasti dari kulakan. Lebih praktis daripada setiap penjual menjahit sendiri, sesederhana apa pun potongan dan jahitan bendera. Harga bendera terbesar, lebar tiga perempat depa, ditawarkan Rp65.000. Soal harga sila membanding dan menawar. Di luar Agustusan, bendera selalu ada sedia di lokapasar.
Oh ya, dari mana datangnya kata bendera, yang oleh orang Jawa menjadi gendera? Dari bahasa Portugis: bandeira. Bisa juga Spanyol: bandera. Dahulu kedua bangsa itu berkeliling dunia untuk memenuhi hasrat tamak sehingga menjajah, sekalian menularkan kata. Lalu zapato dan camisa (Spanyol) kita serap menjadi sepatu dan kemeja. Mesa (Spanyol, Portugis) kita serap menjadi meja.
Asli Indonesia. Itu istilah yang bisa membingungkan. Karena Indonesia pun nama asing. Namun sebagai nasion kita bangga dan terus berproses. Hari ini belum ada medali emas untuk Indonesia dalam Olimpiade Paris 2024, nanti setelah ada kita bangga dan bahagia saat bendera Merah Putih dinaikkan dan Indonesia Raya dinyanyikan.