Tiada lagi anak mengejar dan berebut layangan

Apakah putra, keponakan, dan cucu Anda mengejar layangan putus, atau mereka beli baru kalau perlu lebih dari satu?

▒ Lama baca < 1 menit

Tiada lagi anak mengejar dan berebut layangan

Anda tak salah jika saat membaca judul di atas langsung menyimpulkan saya terbelenggu romantisisme wong lawas terhadap layang-layang.

Saya tak menyangkal impresi saya terhadap layangan padahal saya tak jago memainkan kertas berkerangka bambu yang dapat terbang itu.

Pagi kemarin saya untuk kesekian kalinya saya mendapati layangan terdampar di tempat terbuka. Tak usah menanti pekan, dalam sebentar kertasnya sudah terkoyak.

Layangan terdampar di atap sulit diambil, tetapi layangan jatuh di pinggir jalan mudah dipungut kalau ada yang meminati. Siapa sekarang yang berhasrat mengambilnya, padahal libur sekolah sudah usai, dan anak-anak tiba di rumah setelah kecapaian ikut ekskul?

Tiada lagi anak mengejar dan berebut layangan

Saya sudah tak pernah melihat anak-anak mengejar layangan, membawa galah, dengan girang dan bersemangat, karena euforia kompetitif mengalahkan harga murah layangan baru.

Waktu bocah saya bukan bagian dari pemburu layangan putus atau layangan gabrulan. Saya terlalu canggung, manis, dan cupu atau culun punya untuk menjadi bagian dari rombongan pemburu cilik yang riuh itu.

Tiada lagi anak mengejar dan berebut layangan

Tiga puluh hingga dua puluh lima tahun silam, saya masih menyaksikan anak-anak di lingkungan saya berburu layang-layang putus. Kini para pemburu sudah dewasa, ada yang mengajari anak lelakinya melayangkan kertas berkerangka itu, namun setahu saya anak-anak mereka tak menjadi pemburu.

Zaman sudah berbeda. Ada bagusnya sih, tiada lagi talang miring atau genting melorot digepyok galah maupun pot di atas pagar tembok terguling, lalu pemilik rumah marah-marah, seolah masa kecilnya tak melakukan hal serupa.

Dari Simbah Kakung, waktu saya kecil mendapatkan cerita bahwa bapak saya semasa bocah pernah menabrak pikulan ronde — atau dawet ya, saya lupa — karena berlari melihat ke atas, ke arah layangan putus menuju titik pendaratan.

Saya tak mewarisi semangat Bapak. Saya menerbangkan layangan sekadarnya, tidak pernah berjari warna kesumba karena menggelasi benang sehingga di sekolah dapat berbangga diri telah menjadi bocah lanang sejati. Namun kini saya kehilangan suasana riang pemburu layang-layang membangunkan orang dewasa tidur siang.

Zaman terus berjalan, dan berubah. Tetapi layang-layang masih ada.

Tiada lagi anak mengejar dan berebut layangan

Tinggalkan Balasan