Bayar pakai QRIS di warung sayur sederhana

Inilah salah satu hikmah Covid-19: pembayaran nirtunai kian meluas. Maka warung sayur di area saya, yang sederhana dengan penataan dagangan di atas meja besar, lalu sebagian lainnya digantungkan pada tiang dan galah melintang, sejak pandemi juga menyediakan cara pembayaran dengan QRIS.

Kesahajaan warung ini juga terlihat pada harga: hanya Bu Sayur yang tahu. Anak-anaknya tidak. Warung ini tanpa tabel dagangan maupun label harga. Sejauh saya tahu, Bu Sayur tak pernah menggunakan kalkulator maupun kertas untuk menghitung rupiah.

Di area saya selama ini, penjual yang menerima pembayaran dengan memindai kode QR adalah pemilik kios makanan yang melayani Gofood dan sebangsanya serta kios tembakau. Untuk penjual sayur, setahu saya, ya cuma warung ini. Warung sayur lain selalu minta tunai.

Para pedagang sayur keliling, pria dan perempuan, masih menerapkan pembayaran tunai. Namun pada awal pandemi saya pernah menggunakan titip deposit di rekening anak Mbakyu Sayur. Lalu bukti transfer saya cetak dengan printer termal seperti cara kasir.

Nah, kata Bu Sayur yang melayani QRIS, pembeli secara nirtunai itu tidak banyak, “Tapi saben hari ada aja, Pak.” Para pembeli yang membayar melalui ponsel itu, kata Bu Sayur, “Ibu-ibu yang pulang kerja.”

Tentang kode kotak-kotak kecil rapat ini, saya membaca QRIS sebagai “kris”, bukan “kyu-ris”, karena setahu saya Q dalam abjad Latin Indonesia dieja “ki”. Saya tak tahu cara lembaga penerbit QRIS melafalkankan produknya. Tetapi tampaknya kami sepakat untuk satu hal dari ekosistem pembayaran digital: e-wallet. Pakai bahasa Inggris.