Dari artikel perihal cek khodam di media sosial, perhatian saya malah tercuri oleh foto sesajen seorang calon kuwu atau lurah di Cirebon, Jabar. Foto alam benda bisa menarik bagi ora iseng.
Sebagai properti dari sebuah set ritual, apa yang tampak dalam foto kita terima apa adanya, bukan ada apanya. Memang itulah realitasnya: pertimbangan penyaji lebih pragmatis, pokoknya semua unsur memenuhi syarat sesajen. Tak perlu pertimbangan ala pengarah artistik.
Tetapi jika sesajen dikemas sebagai bagian dari perekaman visual, katakanlah video iklan dan film cerita, orang artistik akan rewel padahal untuk sesajen fiktif. Semua perlengkapan dan pernak-pernik — atau sebut saja sebagai uba-rampé — harus tampak autentik.
Padahal tanpa riset lengkap pun mendalam, autentisitas properti — termasuk yang artifisial alias replika — adalah hasil imajinasi. Orang bilang hasil kebatinan. Maksudnya hasil membatin untuk membayangkan sesajen, dari kendi tembikar sampai bakul nasi dari anyaman bambu. Besok proses membatin diserahkan kepada AI.
Misalnya sesaji bukan untuk kepentingan fiktif macam video iklan dan cerita, melainkan bagian dari ritual masa kini yang berkemasan mewah, maka autentisitas properti pun dikejar. Apalagi akan difoto dan divideokan. Kepentingan artistik melebihi aspek fungsional sesajen.
Tentu aspek fungsional itu wilayah kepercayaan, terutama bagi pelaku. Sesajen calon kuwu yang difoto oleh Kompas.id adalah contoh pengutamaan aspek fungsional: pokoknya sesajen telah lengkap. Benda-benda yang diyakini bukan tradisional dihadirkan bukan untuk diperdebatkan melainkan untuk memenuhi esensi syarat dalam sesajen. Bakul plastik untuk nasi dan buah apel itu ada karena alasan fungsional.
Maka secara iseng dengan ponsel saya buat diagram ketampakan unsur sesajen. Sila Anda periksa. Namun gelas plastik air minum dalam kemasan tidak saya masukkan karena bukan bagian dari sesajen, tidak ditaruh di atas perlak berdekorasi Princess dari Disney.
Bagi saya foto sajen ini adalah bagian dari sejarah. Sesajen di tempat lain, untuk acara berbeda, dan pada waktu katakanlah sepuluh tahun lagi, akan berbeda. Pengarah artistik pada 2045, yang ikut membuat film berlatar 2024, akan sangat terbantu.
Tetapi dalam kehidupan nyata apakah kita harus selalu berhubungan dengan pengarah artistik serius? Tentu tak perlu.
Sepanjang kita nyaman ya kita lakukan saja, seperti menggunakan gayung plastik bergagang panjang dalam upacara siraman, bukan dengan siwur tempurung kelapa bergagang bambu maupun kayu, yang airnya dari drum plastik biru, bukan gentong.
Ya, serupa saya dulu menyaksikan set ketoprak di stasiun televisi daerah yang menampilkan singgasana keprabon diapit pilar bergerigi yang saat itu disebut pilar rumah Spanyol. Saya memaklumi. Dari bujet mepet, dilecut kejar tayang, masa sih menuntut banyak?
Di sisi lain, atas nama autentisitas, apakah kita rela jika penari tayub dalam film hari ini dirias asli seperti tahun 1950-an bahkan dasawarsa sebelumnya?