Pagi, pukul delapan lebih sembilan, meja panjang di depan gardu listrik itu masih kosong. Lima bidang papan, masing-masing berisi 64 bidang kotak, masih menganggur. Entah disimpan di mana bidak-bidaknya.
Biasanya nanti menjelang siang sejumlah lansia datang untuk bermain catur. Lagu pop Indonesia lawasan mengiringi permainan adu otak. Lagu-lagu Koes Plus, Panbers, dan The Mercy’s menjadi favorit.
Di lahan sempit itu juga ada warung, menyediakan camilan dan minuman. Di seberang lahan catur ada tanggul kali. Biasanya yang kongko di sana adalah orang-orang muda. Kelompok lansia maupun orang muda itu tak saling usik.
Sudah lebih dari sepuluh tahun arena catur lansia itu bertahan. Tak ada yang saya kenal kecuali seorang oppung yang tiga tahun silam berpulang. Kami hanya saling kenal wajah, tanpa saling tahu nama masing-masing.
Sore hingga malam, di lapak catur itu selalu ada pemain. Kesan saya orangnya itu-itu saja. Mereka seperti komunitas. Sebagai lansia pensiunan mereka punya banyak waktu. Catur mempertemukan orang sehobi.
Menurut gerontolog, lansia tetap perlu bergaul dan berkomunikasi tatap muka dengan orang lain. Hati gembira karena canda tawa adalah obat. Bahkan saat pandemi, para penggemar catur menderita karena tak bersua lawan tanding. Tanpa catur tiada kawan bincang.
5 Comments
hanya di semesta catur, kuda makan kuda :p
Tapi cara berjalan tidak leluasa, harus L
Paman tahu arena catur itu lebih dari 10 tahun tapi enggak ads yang kenal pemainnya?
Nggak ada yang kenal karena beda RT, lagi pula mereka selalu menunduk menatap papan catur dan bidak 🙈
😁