Bu Bimbi Arimbi Sariwangi datang ke rumah Kamso dan Kamsi membawa oleh-oleh dari Pasar Genteng Surabaya. Seperti biasa dia ceriwis. Juga seperti sebelum dan selama Pemilu 2024, dia berkomentar banyak tentang bekas idolanya: Jokowi.
Topik baru yang membuat dia bersemangat adalah isu Wantimpres yang akan menjadi DPA, lalu diisi Jokowi sebagainya bekas presiden. Padahal belum pasti. Jokowi bilang selesai jabatan balik ke Solo.
Sebagai wong Semarang, komentar Bu Bimbi di depan Kamsi itu lucu dengan dialek khas, “Wagu ik. Kok Jokowi tambah bombongan, umpak-umpakan, ya Mbak? Trang rak enak ish! Malah dadi rak apik!”
“Wis bèn, biarin aja, Bim. Ternyata orangnya gitu. Pèk-ên kabèh Indonesia! Hahaha!” sahut Kamsi.
“Piyé menurut Mas Kam?” tanya Bu Bimbi kepadanya Kamso.
“Yah namanya juga orang. Jokowi tahu bahwa kepuasan rakyat terhadap dia tinggi maka dia memanfaatkan peluang. Sakndilalah pendukung dia juga kasih toleransi dan dukungan. Mbombong, gitu. Bentuk kesukaan kolektif terhadap seseorang memang bisa kebabalasan.”
“Berarti dia bombongan!” kata Bu Bimbi.
“Umpak-umpakan! Dumèh!” kata Kamsi.
“Bukan cuma Jokowi. Pemimpin lain juga cenderung gitu. Liat aja sejarah. Kalo seorang pemimpin disukai dan didukung, maka para pengikut akan nurut dhawuh sendika bos, lalu ada motor yang mbombong,” kata Kamso.
“Itu namanya mboten éling mboten waspada,” tukas Bu Bimbi.
“Kita aja bisa gitu. Dumèh disenengi dan didukung, lalu mengabaikan kepatutan dan mungkin kemudian aturan. Di lingkup apa pun, dari RT, paguyuban, sekolah, perusahaan, dan seterusnya, suka gitu,” ujar Kamso.
“Lalu demokrasi jadi alasan, karena maunya banyak orang gitu. Rakyat yang ndukung aja nggak mempersoalkan, lha kok masyarakat yang nggak setuju, yang minoritas, marah-marah, tensinya naik! Rugi amat!” kata Kamsi.