Skandal akademis, media berita, dan minat pembaca

Jangan-jangan publik tak butuh konten ala majalah Tempo dan Harian Kompas. Sudah panjang masih harus membayar pula.

▒ Lama baca 2 menit

Skandal guru besar abal-abal

Seorang kawan uring-uringan tersebab satu topik: skandal gelar profesor. Ada tiga urusan. Pertama: kenapa bisa terjadi. Kedua: kenapa hanya majalah Tempo yang memberitakan. Ketiga: dia getun kenapa telat tahu, karena dirinya mendengar soal itu dari penerusan tautan YouTube Rhenald Kasali.

Untuk soal pertama, skandal gelar profesor, bagi saya cuma meneruskan praktik kotor di dunia pendidikan, sejak PPDB, plagiarisme, sampai memesan skripsi, tesis, hingga disertasi. Masih ditambah sok produktif di jurnal predator.

“Aku males bahas, kan masyarakat juga nggak peduli, yang penting punya gelar tanpa harus baca banyak buku, nggak usah bisa nulis, nggak usah bisa berbahasa dengan bener. Lebih penting lagi, gelar menyangkut pangkat, gaji, tunjangan, dan nilai uang pensiun,” kata saya.

Soal kedua, kenapa hanya Tempo yang memberitakan, setahu saya tidak begitu. Seputar sengkarut dunia pendidikan, Kompas juga telaten menguliti dengan investigasi dan jurnalisme data.

Soal ketiga, dia menyesal tahu soal profesor abal-abal dari kanal Rhenald, saya katakan yang Rhenald ceritakan itu seminggu setelah penayangan Bocor Alus Tempo di YouTube.

Bocor Alus itu semacam sneak preview atau spoiler laporan utama sebelum terbit, sebagai promosi karena tanpa promosi maka publik nggak ngeh ada topik menarik — bahkan nggak ngerti kalau Tempo masih ada.

Lantas saya kunci ocehan saya dengan, “Udah jelas, kan? Nggak ada masalah lagi.”

Tetapi yang saya khawatirkan langsung mengalir. Intinya, dia sering mendengar bahwa Tempo dan Kompas punya liputan eksklusif, namun sayang untuk membaca konten, “Kanapa harus bayar?”

Saya bilang gugatan itu salah. Mestinya menyoal kenapa media berita gratis nggak melakukan hal yang sama dengan Tempo dan Kompas. Tepatnya Kompas.id, karena dia baru tahu ada Kompas yang bukan Kompas.com.

Perjokian di perguruan tinggi

Itu tadi pertanyaan dua hari lalu. Dasar rewel, hari ini dia masih penasaran kenapa isu semacam gelar profesor dan lainnya nggak ramai jadi bahasan publik. Rupanya dia mencari tahu beberapa arsip laporan utama Tempo dan Kompas dengan meminjam akses sepupu.

Walah, ini pertanyaan sulit, tetapi saya menggampangkannya: minat setiap orang berbeda. Lebih penting menyoal apakah liputan yang bagus punya dampak, setidaknya dibaca para penentu kebijakan dan politikus.

Eh, dalam pembicaraan via telepon itu dia malah bilang, “Mas, aneké kancaku anggota DPRD maunya baca yang gratis tuh. Mengandalkan media sosial. Baca buku dia juga malas. Sukanya minta ringkasan isi bacaan secara lisan. Padahal gelar S1 sama S2 dia pasang. Kalo aku kan sarjana ilmu komunikasi pas-pasan, dari dulu males baca. Wis bèn. Hahaha…”

Efek kobra di perguruan tinggi bagi dosen malas

Saya tidak menanggapi kisah anggota DPRD karena secara umum di pelbagai kalangan itu soal klise dan membosankan untuk dibahas. Saya lebih tertarik kepada kesimpulan yang dia buat, memang tidak baru: “Mas, apa pun isu yang dibawa mainstream media, kalo nggak nyampe di medsos nggak akan diperhatikan orang. Di medsos orang cukup tahu judulnya aja sama ringkasannya.”

Saya mengiakan. Bahkan meralat, “Yang namanya mainstream itu ya media sosial, soalnya itulah yang pertama dibaca orang kalo mau tahu berita. Media berita cuma nebeng medsos.”

Skandal guru besar abal-abal

Uh, dia masih rewel. Dia menanya kenapa video obrolan topik aktual di YouTube lebih menarik. Saya bilang, tergantung topik, dan siapa yang bicara. Juga: tergantung siapa yang menonton. Tetapi bagi saya video dan bacaan itu saling melengkapi. Meskipun demikian, kalau terpaksa harus memilih salah satu maka saya memilih teks.

“Terus nasib media yang isinya berita gimana, Mas? Nasib wartawannya gimana?” dia bertanya.

Saya jawab, “Hari ini media masih hidup. Wartawannya masih kerja. Emang sih PHK wartawan ada terus. Juga emang, kalo mau tahu perkembangan terkini nanya AI aja, yang meringkas dari media berita.”

Skandal guru besar abal-abal

Dia belum juga puas, masih bertanya apa saja media gratis yang menambah wawasan, “Pake pembahasan mendalam, halamannya nggak pake bersambung, nggak banyak iklannya…”

Maka saya katakan kalau butuh hard news atau breaking news, atau berita seleb, klik saja situs berita yang dia kenal. Lebih bagus kalau memanfaatkan halaman indeks.

The Conversation Indonesia: gratis, bagus

Kalau mau yang mendalam tetapi bukan hard news, coba saja Project Multatuli, lebih bagus kalau menyumbang duit. Juga silakan baca The Conversation Indonesia.

Tapi dia menanggapi, “Kata teman-teman, aku juga pernah buka sih, Multatuli kayak berita LSM. Kalo The Conversation kayak kumpulan artikel dosen. Lebih enak nonton obrolan sama debat di YouTube, Mas. Atau liat YouTube Shorts dan TikTok. Nggak capek. Baca berita panjang wis ora njamani. Apalagi buat pensiunan yang maunya santai.”

Project Multatuli: mendalam

Tinggalkan Balasan